Mohon tunggu...
Cerpen

10 November

5 November 2017   22:35 Diperbarui: 5 November 2017   22:37 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi hari, aku bangun menyambut terik mentari yang bersinar.  Setelahku bangun dan merapikan kasurku, kubuka handphone yang tergelatak di atas meja tidurku. Hari ini hari minggu, 10 November 2019, 'aduh hari ini mau ngapain ya?'. Karena bosan, aku pun memutuskan untuk keluar dan melihat keadaan rumah. Kubuka pintu kamarku, dan kulihat ruang keluarga, tempat yang biasa disusun ibu rapi dan tertata. 

Namun kulihat kali ini, lantai belum cemerlang, sofa yang berada sedikit miring, dan meja yang terletak sangat jauh. Lalu kuintip garasi, kusadari mobil sudah tak ada. Artinya ibu sudah pergi ke pasar. Lalu dengan bermalas-malasan aku mengambil handphoneku dan melihat instagram. Kulihat karya anak -- anak mengenai pahlawan. Ya, aku sadar hari ini adalah hari pahlawan. Setelah melihat gambar-gambar dari instagram, aku pun memutuskan untuk pergi sarapan dan merapikan diri.

Setelah melakukannya, entah kenapa aku tiba-tiba terpikir mengenai kakekku. Banyak dari temanku yang sering menceritakan pengalaman mereka dengan kakek dan nenek mereka, sedangkan aku, seumur hidupku, aku tak pernah melihat kakekku. Aku pernah melihat foto-foto mereka yang diletakkan di rumah Om yang berada di kota Jakarta. "Ding Dong Ding Dong", suara bel pintu aku dengar. 

Sebelum membuka pintu, kulihat bayangan mobil yang diparkir di garasi. "Andi, cepat bukakan pintu!", kata ibu dari luar pintu. Aku yang tadi berjalan malas segera bergegas mendengar suara ibu. "Ada apa bu?", tanyaku penasaran. "Di, kamu tahukan kemarin malam nenek jatuh sakit? Dan dibawa ke rumah sakit?" tanya ibu. "Ya Bu, bagaimana kondisi nenek?" tanyaku. "Nenek meninggal tadi pagi jam 5 Di. Di Rumah Sakit ketika baru saja chek-up dari dokter".

Walaupun nenek tinggal di rumah Om, beliau adalah satu-satunya sosok yang dekat denganku. Memang belakangan ini, karena usianya yang sudah mencapai 92 tahun, beliau sering sakit dan masuk ke rumah sakit. Tapi sepeninggalnya yang begitu cepat dan tiba-tiba membuatku tersentak di hati sehingga aku tidak bisa berkata apapun. Seminggu yang lalu adalah hari terakhir ku melihatnya, dan beliau terlihat ceria seperti biasa. 'Ketemu lagi minggu depan ya ndiii...' katanya sambil naik mobil yang hendak membawanya ke rumah Om. 

Rumah Om memang berletakkan strategis yang berada dekat dengan rumah sakit, sehingga memang alasan yang logis bagi nenek untuk tinggal di sana. Sedangkan aku tinggal di daerah Cakung, yang jauh dari rumah sakit.

Ibu yang mengerti perasaanku, memberikanku pelukan hangat untuk meredakan rasa amarah yang berada di hatiku. "Nenek akan didoakan dulu di rumah Om, ayuk kamu siap-siap, kita berangkat 15 menit lagi", kata ibu dengan nada tenang. Walaupun ibu terdengar tenang, tapi lingkar matanya terlihat lebih cokelat dari kulitnya yang berwarna putih langsat, dan matanya sangat berair dan merah. Yang menandakan ibu sudah menangis lama, mungkin saat perjalanan.

Aku berganti baju, lalu aku dan ibu pun bergegas jalan menuju ke Jakarta. Jarak dari Cakung ke Jakarta tidak begitu jauh, tapi kemacetan di jalan raya memakan waktu kami sebanyak 2 jam. Setelah sampai, kulihat rumah sudah ramai, tamu-tamu yang berada tak lain adalah keluarga dekatku, melainkan Omku, tanteku, dan juga sepupu-sepupuku. Ibuku hanya 3 bersaudara, beliau merupakan anak terakhir dengan kakak tertua Om Ajeng, dan kaka kedua Tante Riris. 

Terakhir kali aku menghampiri rumah ini adalah 11 bulan yang lalu, saat hari natal dan tahun baru. Sambil menunggu tamu yang lain, aku memasuki kamar yang selama ini ditinggali nenek, aku tidak pernah menghampirinya. Di sana digantungkan banyak foto-foto, foto seluruh keluarga besar, kulihat juga fotoku dengannya dan membuatku menangis. Ada juga fotonya dengan tante dan sepupu ku. Setelah melihat-lihat, akupun duduk di kursi kayu beliau. Ku lihat sebuah foto di meja kayu yang berada di depan kursi yang ku duduki. 

Di foto itu ada seorang lelaki yang berdiri dengan kemeja putih dan celana sepertinya warna cokelat. Foto tersebut dengan warna hitam putih. Pria tersebut menggunakan topi tentara dan memegang semacan tongkat. Diatasnya dituliskan '9 Nopember 1945', lalu diujung bawah dituliskan 'Soepropmo'. "Kakekmu meninggal sehari setelah foto itu di ambil" kata ibu yang melihat foto itu juga. "Beliau adalah salah seorang pahlawan, yang mengorbankan dirinya di Surabaya." Tambah ibu. "Apakah ini benar kakek bu? Aku gak pernah sangka kakek adalah seorang pahlawan" tanya ku dengan heran. "Ehh jangan salah, kakek mu dulu ikut berperang. 

Namun sayangnya beliau pun harus berakhir di peperangan. Kakekmu melawan tentara inggris yang akhirnya membunuh sekitar 15 ribu orang" jelas Ibu. "15 ribu orang???"Tanyaku Kaget. "Iya nak, setelah perang, sumber daya Indonesia langsung berkurang, perang Surabaya adalah perang yang paling mengerikan dari semua perang. Simpatisan orang Skotlandia-Amerika Indonesia K'tut Tantri juga menyaksikan Pertempuran Surabaya, yang kemudian dia catat dalam memoarnya Revolt in Paradise."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun