Mohon tunggu...
Hilal Ardiansyah Putra
Hilal Ardiansyah Putra Mohon Tunggu... -

Pengiat Literasi Kutub Hijau

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ibnu Samir dan “Tuhan” Jadi-jadian

26 Maret 2015   17:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:57 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Dahulu, ada seorang Raja yang hidup sebelum kalian, kata Bagindah Rasul Sholallahu ‘alaihi wasalam kapada para sahabatnya. Sang Raja memiliki seorang penyihir. Tatkala sang penyihir beranjak dewasa, rambut memuti dan waja mulai berkerut, datang menghadap sang Raja dan berkata, “ Wahai Raja, kini aku sudah semakin tua, hitungan umurku sudah mulai banyak namun jatah umurku semakin berkurang. Maka dari itu, sudilah paduka Raja untuk memberiku seorang pemuda yang nantinya akan hamba ajari sihir dan menjadi penerus hamba.”,

Mendengar permintaan tukang sihirnya yang penuh hibah. Sang Raja akhirnya memberikan seorang pemuda kepada penyihir tersebut. Suatu hari, Abdullah bin Samir, begitu nama pemuda tersebut, hendak datang ke istana Raja untuk menemui penyihir dan belajar kepadanya tentang ilmu sihir. Di tengah perjalanan, Ibnu Samir melihat sebuah tempat ibadah milik umat Isa As.Di dalamnya ada seorang rahib yang sedang hanyut dalam ibadahnya kepada Allah dengan membaca Injil. Ibnu Samir kagum, dia mendekat, dan memasuki tempat ibadah tersebut sembari memperhatikan dan mendengarkan sang Rahib.

Setelah selesai dan dirasa cukup, Ibnu Samir teringat jika dirinya harus segera menemui tukang sihir tersebut untuk belajar sihir. Ya, Ibnu Samir saat itu masih ingusan, masih mencari kebenaran kemana-mana. Dia belum bisa membedakan mana kebenaran dan mana kebatilah.

Setelah lama menyusuri jalanan Najran, Ibnu Samir akhirnya sampai kepada sang penyihir. Dia terlambat, membuat tukang sihir menunggu. Maka meralah muka penyihir ketika Ibnu Samir mulai melangkahkan kakinya masuk menghadap penyihir. “ Kenapa kau terlambat wahai Ibnu Samir ?.” sang penyihir mengintrogasidengan nada kesal dan marah. “Maafkan aku wahai penyihir.” Jawab Ibnu Samir menghibah. Sebagai hukuman, akhirnya Ibnu Samir disiksa oleh penyihir tersebut karena keterlambatannya menghadapnya.

Menghadapi keadaan yang sulit seperti itu, ditambah dengan keragu-raguan dengan apa yang dilakukannya, antara berguru kepada penyihir atau kepada sang Rahib, akhirnya Ibnu Samir memutuskan untuk mengadukan masalahnya tersebut kepada sang Rahib. Hal itu dilakukannya karena Ibnu Samir melihat seberkas cahaya kebaikan dan kearifan dari wajah sang Rahib.

“ Wahai rahib, aku tidak tahu, aku bingung wahai rahib.” Ibnu Samir mengadukan masalahnya kepada Rahib.

“ Ada apa Anakku, apa yang membuatmu sedih dan ketakutan.” Sang Rahib balas bertanyak.

“ Aku mendatangimu dengan sembunyi-sembunyi. Keluargaku ingin aku belajar sihir supaya kelak bisa menggantikannya. Namun aku ragu dengan apa yang aku lakukan. Maka dari itulah aku mendatangimu, sedangkan keluargaku tidak ada satupun yang tahu jika aku mendatangimu, penyihir istana itu juga tidak mengetahuinya. Namun ketika aku menemuimu, pastinya aku akan terlambat menemui penyihir, dan akupun akan terlambat pulang ke keluargaku. Hal tersebut membuat aku mendapat hukuman dari penyihir dan juga dari keluargaku.” Ibnu Samir berdiam sejenak sambil menghirup nafas sedalam-dalamnya. Kemudian meneruskan, “ Apa yang harus aku lakuakan wahai Rahib ?.”

“ Jadi itu yang menjadi masalahmu anakku ?.” Sang Rahib bertanyak memastikan masalah Ibnu Samir.

“ Iya.” Jawab Ibnu Samir dengan singkat dan jelas.

“ hemm.. baiklah, jika engkau takut kepada tukang sihir karena engkau terlambat disebabkan kedatanganmu kesini, katakanlah kepada tukang sihir tersebut jika dirimu sedang ada urusan dengan keluargamu.” Sang Rahib mencoba memberikan jalan keluar.

“ Terus bagaimana dengan keluargaku ?.” Ibnu Samir tidak sabar mendengar solusi untuk menghadapi keluarganya.

“ Jika engkau pulang terlambat ke keluargamu karena menemuiku, katakan saja kepada keluargamu jikaengkau punya urusan dengan tukang sihir istana tersebut.” Sang Rahib meneruskan jawabannya.

Suatu hari Ibnu Samir kembali menelusuri perkampungan Najran. Hendak menuju tukang sihir untuk belajar sihir karena terpaksa. Tiba-tiba di tengah jalan dia melihat seeokor binatang yang begitu besar dan menakutkan menutupi jalan dan menghalangi orang-orang untuk lewat.

“ Hari ini, aku akan tahu siapa sebenarnya yang lebih baik, Tukang sihir atau Rahib itu.” Gumang Ibnu Samir dalam hatinya berharap hari itu akan melihat keajaiban untuk menuntaskan keraguan apakah penyihir atau rahib yang lebih baik. Selanjutnya dia mengambil sebuah batu dan berkata, “ Wahai Tuhanku, jika apa yang dilakukan rahib tersebut lebih engkau cintai dari pekerjaan tukang sihir tersebut, maka bunulah binatang ini.” Ibnu Samir berdo’a kepada Allah. Selesai berdo’a dia langsung melemparkan batu digengamannya ke arah binatang tersebut dan berhasil membunuhnya. Orang-orang pun kembali bisa melalui jalan tersebut dan berkatifitas seperti sediakala.

Setelah kejadian tersebut, Ibnu Samir tidak jadi menemui tukang sihir dan beralih menuju tempat ibadah sang Rahib. Ibnu Samir menceritakan apa yang baru dia lihat. Sang Rahib dengan seksama mendengarkan cerita Ibnu Samir sambil sesekali mengangukkan kepadanya tanda setuju.

“ Anakku, hari ini engkau lebih baik dariku, engkau telah menemukan apa yang engkau cari, setelah hari ini engkau akan menghadapi berbagai macam coba’an, jika nantinya kamu mendapat ujian dari Raja atau tukang sihir perihal kebenaran yang telah engkau dapatkan, jangan engkau tunjukan diriku kepada mereka.” Sang Rahib menjelaskan apa yang dialami Ibnu Samir sekaligus memberikan peringatan bahwa kehidupannya mendatang akan mulai banyak rintangan. Sebab seseorang tidak akan dibiarkan berkata “ Saya beriman” namun tidak diuji dengan coba’an. Coba’an yang nantinya dihadapi oleh seorang mu’min adalah untuk menguji kebenaran ucapannya tersebut, sekaligus untuk menghapus dosa-dosa yang perna dia lakukan dan mengangkat derajatnya bersanding dengan para nabi, orang-orang yang benar, para syuhada’, dan orang-orang yang sholih.

Setelah kejadian tersebut. Kini Ibnu Samir lebih mantap dengan ibadahnya. Lebih menikmati ubudiyahnya kepada Tuhan yang Maha Esa. Tuhan yang tidak ada kemudhorotan sedikitpun bersama nama-Nya. Kini, Ibnu Samir dikaruniai Allah dengan ilmu pengobatan yang tidak ada duanya di masanya. Ibnu Samir kini bisa menyembuhkan orang dari kebutaan, membebaskan manusia dari jijiknya penyakit kulit, dan penyaki-penyakit lainnya, dengan izin Allah.

Berita tentang Ibnu Samir kini menyebar. Bagai tiupan angin yang memasuki berbagi cela sempit batu pegunungan. Bagai air hujan yang meresap ke pori-pori tanah yang tak bisa diukur dengan mata telanjang. Ya, kabar tersebut santer bagai topan. Hampir seantero negeri mendengar keahlian Ibnu Samir dalam mengobati orang sakit. Tak terkecuali seorang teman dekat sang Raja pun mendengar berita kemasyhurannya.

Teman dekat Raja ini adalah orang yang selalu menemani Raja. Bercakap-cakap saling mengobrol dan menghabiskan waktu. Namun, orang tersebut terkena kebutaan. Matanya telah lumpuh, indahnya pelangi tidak bisa dia lihat, bahkan gemerlap istana yang dia sering berada di sana pun dia tidak bisa merasakan keindahanya.

Maka diundanglah Ibnu Samir mengahadap orang tersebut. Orang tersebut telah menyiapkan berbagai macam hadiah jika dia berhasil mengembalikan pengelihatannya.

“ Semua yang aku kumpulkan disini akan menjadi milikmu jika kamu bisa mengembalikan pengelihatanku.” Teman dekat Raja tersebut mengiming-imingi Ibnu Samir dengan harta yang melimpah.

Dengan tenang dan rasa tawadhu’nya yang tinggi Ibnu Samir menjawab, “ Aku tidak bisa menyembuhkan siapapun, sesungguhnya yang menyembuhkan setiap penyakit adalah Allah. Jika engkau mau beriman kepada Allah aku akan berdo’a kepada-Nya supaya berkenan meberikanmu kesembuhan.”

Ya, kini Ibnu Samir telah menjadi pendakwah. Menyebarkan risalah ketauhidan. Berharap masyarakatnya mau meniggalkan berhala-berhala yang mereka sembah.

“ Apakah jika aku beriman kepada-Nya aku akan sembuh ?.” Orang tersebut kembali bertanya.

Insya Allah.” Ibnu Samir menjawab dengan singkat dan jelas.

Orang tersebut akhirnya beriman. Dan memang benar, pengelihatannya kini telah Allah kembalikan. Kini dia bisa merasakan warna-warni dunia. Bisa melihat betapa megahnya kekuasaan Tuhan yang baru saja dia imani.

Setelah sembuh dari kebutaannya, seperti biasa dia mendatangi sang Raja untuk berbincang.

“ kamu bisa melihat ?, siapa yang telah mengembalikan pengelihatanmu ?.” Sang Raja terkejut.

“ Allah, Tuhanku.” Jawabnya singkat.

“ ha... Engkau punya tuhan selain aku ?.” Raja yang hidup pada zaman Ibnu Samir tersebut juga mengaku sebagai tuhan sebagaimana Fir’aun di Mesir pada zaman Musa as.

“ Ya, Dia adalah Tuhanku dan juga Tuhanmu.” Terang orang tersebut.

Mendengar jawaban teman dekatnya tersebut, sang Raja merah padam, dia marah, di wajahnya membara api kemarahan, maka Raja tersebut pun memberikan hukuman dan menyiksa temannya tersebut dengan keji hingga akhirnya dia menunjukkan tentang Ibnu Samir, pemuda yang dengan perantaranya bisa mengenal Allah.

Rajapun memerintahkan pengawalnya untuk mendatangkan Ibnu Samir ke istana. Maka datanglah Ibnu Samir dikawal oleh para perajurit Raja menuju istana. Setibanya di istana sang Raja bertanya, “ Apakah kehebatanmu dalam ilmu sihir sudah mencapai tingkatan yang tinggi sehingga engkau bisa menyembuhkan orang yang berpenyakit kulit dan buta ?.” sang Raja bertanya demikian karena Ibnu Samir adalah pemuda yang diberikannya kepada tukang sihirnya untuk menjadi pewaris ilmu sihirnya.

“ Wahai paduka Raja, Aku tidak bisa menyembuhkan siapapun, semua orang yang sakit Allahlah yang menyembuhkannya.” Jawab Ibnu Samir sama seperti jawaban orang dekat Raja yang kemudian disiksanya tersebut.

Mendengar jawaban Ibnu Samir, sang Raja geram. Menyiksa dan memperlakukan Ibnu Samir dengan kasar. Sang Raja juga memasksa Ibnu Samir untuk mengatakan siapa orang yang berada di balik semua ini. Yakni orang yang telah menyebarkan ajaran ketauhidan tersebut.

Tak tahan dengan siksaan yang dia terima. Akhirnya Ibnu Samir mengatakan perihal Sang Rahib yang telah merubah jalan hidupnya. Ya, Ibnu Samir telah melanggar permintaan Sang Rahib untuk tidak benyebarkan identitasnya. Kini apa yang ditakutkan oleh sang Rahib telah terjadi, Ibnu Samir telah mendapatkan ujian sebagaimana yang dikatakan rahib dan kini diri rahib itu sendiri juga akan mengalami nasib yang sama dengan apa yang dialami Ibnu Samir dan orang dekat Raja tersebut.

Maka didatangilah Rahib tersebut. Sang Raja memaksanya untuk murtad dari Agamanya, agama yang dibawa oleh Ruhullah Isa As (agama yang dibawa Isa As adalah agama Islam, bukan agama Kristen). Tetapi sang Rahib dengan keteguhan iman dan aqidahnya menolak permintaan sang Raja.

Mendengar penolakan dari sang Rahib, Raja merasa dilecehkan. Harga dirinya diinjak-injak oleh seorang keriput tua Bangka. Tak terima, sang Rajapun mengambil gergaji dan menggergaji tepat di tengah-tengah kepalanya hingga terbelah dan akhirnya meninggal dunia.

Begitulah sejatinya seorang mu’min. Lebih memilih kematian daripada murtad walaupun hanya manis mulut. Sang Rahib berusaha sebisa mungkin untuk mempertahankan keimanannya, walaupun sebatas bibir dia tidak ingin mengucapkan kalimat kemurtadzan. Dia menginginkan kematian yang mulia. Walau sebenarnya, jika seorang merasa jiwanya terancam, dia bisa mengatakan kalimat kekufuran dengan niatan untuk menyelamatkan nyawanya dengan catatan hatinya sama sekali tidak bergemin, atau hatinya tetap mantap dalam keimanan dan aqidah yang lurus sebagaimana yang telah dilakukan oleh Ammar bin Yasir tatkalah menghadapi ujian yang begitu dasyat dari para setan Quroisy.

Setelah puas membunuh sang Rahib, kini Raja segera bergerak muluncur menuju teman dekatnya yang kini berubah menjadi musuhnya tersebut.

“ kembalilah engkau ke agamamu yang dulu .” bentak sang Raja kepada temannya tersebut.

“ Tidak, sekali-kali aku tidak akan meninggalkan Allah. Aku telah melihat kebenarannya. Aku terlah tersinari oleh hidayahnya. Engkau tidak akan bisa membelokan orang yang dengan kasih sayangnya telah mendapatkan hidayah.” Jawabnya tegas.

Sang Raja kembali marah mendengar jawaban temanya tersebut. Tidak tangung-tangung, Rajapun memerintah pengawalnya untuk mengambil gergaji dan membunuh orang tersebut dengan menggergaji kepalanya hingga terbelah dan akhirnya meninggal dunia.

Setelah membunuh temannya, sang Raja kini menemui Ibnu Samir. Memaksanya untuk mengucapkan kalimat kekufuran. Memaksanya untuk murtad dan berbuat kesyirikan.

“ kambalilah engkau ke agamamu yang dulu.” Kata sang Raja kepada Ibnu Samir.

“ Tidak, aku tidak akan tersesat setelah aku menemukan jalan kebenaran.” Jawab Ibnu Samir.

Raja kembali marah. Namun kali ini Raja tidak mengambil gergaji dan menggergaji kepadalnya. Raja memanggil beberapa perajuritnya.

“ Wahai para perajuritku, Bawalah pemuda ini bersama kalian menuju puncak gunung. Setelah kalian sampai di puncak, lemparkanpemuda ini ke dalam jurang.” Sang Raja memerintahkan perajuritnya untuk menghabisi nyawa Ibnu Samir.

“ jika kalian sudah mencapai puncak tertinggi di gunung tersebut, lemparkan dia, namun kalau dia bersedia kembali ke agama lamanya, biarkan dia selamat.” Pesan sang Raja sebelum mereka benar-benar membawa Ibnu Samir ke puncak gunung.

Setelah raja selesai berbicara, merekapun selangka demi selangka meninggalkan istana dan menuju ke sebuah punjak gunung. Setelah mereka sampai di bawah gunung, mereka memulai untuk mendakinya. Ketika sampai di puncak, Ibnu Samir berdo’a kepada Allah, “ Wahai Tuhanku, cukupkanlah diriku dari mereka dengan apa yang engkau kehendaki.”

Setelah selesai berdo’a, tiba-tiba gunung tempat mereka berpija bergerak. Gempa terjadi, batu-batu bergerak, burung-burung yang tengah asik menyuapi anak-anaknya terbang katakutan. Dan perajurit-perajurit sang Raja tersebut akhrinya jatuh dan mati mengenaskan di dalam jurang.

Maka selamatlah Ibnu Samir dari kejahatan mereka, namun apa yang dilakukan Ibnu Samir ? dia tidak lari sejauh mungkin agar tidak disiksa oleh sang raja melainkan berjalan kaki menuju istana raja dan menemuinya. Melihat Ibnu Samir datang tanpa berkurang sedikitpun dari tubuhnya sang rajapun heran. Mencoba menerka, mencari jawaban di balik bunga-bunga istana. “ Apa yang dilakukan perajuritku kepadamu ?.” Tanyak sang raja.

“ Allah menyelamatkanku dari mereka.” Jawabnya singkat.

Sang rajapun memanggil perajuritnya yang lain. Menyerahkan Ibnu Samir kepadanya dan memerintahkan mereka untuk membawanya ke tengah lautan dan menengelamkannya di sana. Berharap Ibnu Samir kehabisan nafas dan tewas tercabik-cabik oleh ikan hiu.

Maka dibawalah Ibnu Samir oleh mereka menaiki sebuah sampan kecil untuk mengarungi lautan. Sesampainya di tengah laut, mereka mulai mencoba untuk menceburkan Ibnu Samir kelautan. Ibnu Samir berdo’a lagi kepada Allah, “ Wahai Tuhanku, cukupkanlah diriku dari mereka dengan apa yang engkau kehendaki.”

Setelah mengucapkan do’a tersebut, perahu yang ditumpanginya bergoyang dan menjatuhkan para perajurit tersebut ke tengah lautan. Sekali lagi, selamatlah Ibnu Samir dari meraka.

Ibnu Samir kembali mendatangi istana raja. Sesampainya di istana, raja kembali terheran dan tidak percaya. Sang raja kembali bertanya, “ Apa yang dilakukan perajurituku kepadamu ?.”

“ Allah menyelamatkanku dari mereka”. Jawab Ibnu Samir singkat sebagaimana jawaban pertama.

“ Wahai raja, sekali-kali engkau tidak akan bisa membunuhku sempai engkau melakukan apa yang ku perintahkan kepadamu, setelah itu engkau baru bisa membunuhku.” IbnuSamir diam sejenak dan memulai perkataanya kembali, “ Engkau kumpulkan manusia di sebuah dataran tinggi, selanjutnya saliblah tubuhku pada sebuah batang pohon, kemudian ambilah satu anak panah dari wadah anak panah milikku. Kemudian pasang anak panah tersebut pada busur pana dan ucapkanlah “ Dengan nama Tuhan pemuda ini”, selanjutnya lepaskanlah anak panah tersebut. Jika engkau lakukan hal tersebut, engkau baru bisa membunuhku.”

Ibnu Samir sebenarnya ingin berdakwah dengan cara tersebut. Setelah masyarakat mendengar bahwa raja gagal setelah berkali-kali ingin membunuh Ibnu Samir, kemudian berhasil membunuhnya dengan arahan yang diberikan Ibnu Samir kepadanya, Ibnu Samir berharap agar orang-orang yang menyaksikan proses eksekusinya melihat keajaiban tersebut dan beriman kepada Allah Saw.

Setelah mendegarkan arahan Ibnu Samir, mulailah sang Raja mengumpulkan orang-orang di sebuah bukit yang luas. Pohon penyaliban sudah dipilih, Ibnu Samirpun menuju kesana. Maka disaliblah tubuhnya di batang pohong pilihan tersebut.

Orang-orang mulai berdatangan. Saat semua orang sudah datang. Sang raja mengambil anak panah milik Ibnu samir dan segera memasangnya pada busur panah. Dengan pesan Ibnu Samir sebelum melepaskan anak panah tersebut, sang raja berucap “ Dengan menyebut nama Tuhan pemuda ini”, dan dilepaskanlah anak panah tersebut dan tepat mengenai pelipis Ibnu Samir yang telah disalib di atas pohon tersebut. Ibnu Samir kemudian memegang pelipisnya kemudian meninggal dunia.

Oang-orang yang berkumpul disanapun takjub melihat apa yang baru saja terjadi. Sang raja akhirnya berhasil membunuh Ibnu Samir setelah bekali-kali kekuatan ghoib menggagalkannya. Namun dengan petunjuk Ibnu Samir sendiri, akhirnya dia berhasil membunuhnya. Orang-orangpun mendengar apa yang diucapkan sang raja yaknikalimat “ Dengan menyebut nama Tuhan pemuda ini”. Merekapun akhirnya sadar dan beriman dengan Tuhan Ibnu Samir, yakni Allah, seraya berkata-kata, “kami beriman kepada Tuhan pemuda ini, Kami beriman kepada Tuhan pemuda ini, Kami beriman kepada Tuhan pemuda ini.”

Barlanjut >>>

Kemudian sang raja didatangi oleh seseorang dan berkata kepadanya, “ Apakah kamu tahu apa yang telah kamu lakukan, kamu ingin waspada ? sungguh demi Allah kewaspadaanmu itu telah datang, orang-orang telah beriman.”

Ya, sebenarnya sang raja hendak memusnakan Ibnu Samir karena takut masyarakatnya akan beriman kepada Allah. Sang raja tidak ingin, sebab jika mereka beriman, mungkin kerajaannya akan dalam bahaya. Namun setelah apa yang dia lakukan terhadap Ibnu Samir dengan membunuhnya dihadapan orang banyak dengan menyebut nama Tuhan pemuda tersebut, malah membuka hati orang-orang yang berkumpul di sana.

Sang raja kemudian memaksa mereka untuk murtad dari agamanya, namun mereka tetap teguh dalam keimanan baru mereka. Hingga akhirnya sang Raja memerintahkan untuk menggali tujuh lubang dengan masing masing lubang sepanjang 40 dira’ dengan lebar 12 dira’. Setelah lubang digali, kayu-kayu bakar dilemparkan kedalamnya yang disertai dengan minyak untuk mempercapat kobaran api tersebut. Setelah membara, semua orang yang beriman dilemparkan ke dalam lubang tersebut.

Di antara orang-orang beriman yang dilempar ke lubang api tersebut ada seorang perempuan yang sedang menyusuhi anaknya. Perempuan tersebut tidak tega terhadap keselamatan anaknya. Hampir-hampir saja dia kembali murtad hingga kaajiaban muncul di depannya. Anak kecil yang digendongnya dengan erat tiba-tiba berbocara, “ Ibu, janganlah ibu takut, ibu sedang berdiri di atas kebenaran.” Mendengar ucapan anaknya, akhirnya dia bersama anaknya menceburkan diri ke bara api tersebut. Kejadian itulah yang digambarkan dalam al-Qur’an surat al-Buruj. [ Wallahu a’lam].

Oleh : Hilal Ardiansyah Putra

Refrensi :

1.Al-Qur’an al-Karim

2.Shohih Muslim

3.Tafsir al-Qurthubi

4.Tafsir Ibnu Katsir

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun