Beberapa kali ketika saya berangkat kuliah dari Mampan ke Pasar Minggu, saya sering melihat para pemulung pembawa gerobak yang membawa turut serta anaknya dalam gerobak. Kadang anak-anak tersebut tidur di grobak, dan kadang ikut membantu orang tuanyamemulung kaleng bekas.
Ketika saya melihat pemandangan seperti itu, sagat miris. Bagaimana mungkin seorang anak yang sejatinya adalah masa untuk menuntut ilmu, duduk di bangku taman kanak-kanan (TK) atau sekolah dasar (SD) harus putus sekolah, bahkan belum perna mencicipi bangku sekolah. Mereka sedari dini sudah diajak dalam kerasnya kehidupan yang melelahkan, yang bagi sebagian orang dewasapun pasti akan enggan untuk melakukan pekerjaan seperti itu.
Cita dan tekad untuk menyekolahkan anak-anaknya bagi pemulung tentunya ada. Setiap orang tua pasti menginginkan agar anaknya melebihi orang tuanya. Tapi cita tersebut harus terkendala karena biaya sekolah yang lumayan mahal. Sebenarnya, saat ini banyak sekolah yang gratis, hususnya sekolah negeri, namun sebagaimana ma’lumnya, birokrasi di sekolah negeri sangatlah ribet. Walaupun gratis masih saja ada penarikan-penarikan yang diada-adakan bahkan tidak jelas dan tidak transparan. Bagi seorang pemulung, mengurus birokrasi yang ribet akan terasa sangat sulit untuk dilakukan terlibih jika harus membayar sesuatu. Hal tersebut, mungkin, karena kebanyakan pemulung tidak faham dengan birokrasi yang ada sehingga mereka lebih memilih mengajak anaknya untuk mulung daripada bersekolah.
Bagi siapapun yang berhati nurani, pasti sedih melihat keadaan yang seperti itu. Masa bermain terenggut dan masa belajar tercuri. Seharusnya, pemerintah adalah pihak yang paling bertanggungjawab untuk mengatasi masalah ini. Baik melalui kementerian pendidikan maupun kementrian sosial. Seharusnya dua kementerian ini lebih bertindak sigap dan sungguh-sungguh dalam menjalankan tugasnya.
Memang, jika kita dengar dari media-media, pemerintah telah menurunkan kartu pintar misalnya untuk daerah ibu kota, dan juga semacamnya yang ada di daerah-daerah lainnya, juga bantuan BOS untuk sekolah-sekolah sehingga biaya oprasional sekolah lebih bisa diminimalisir dari pembengkakan biaya.
Namun, sekali lagi, seperti yang telah saya sebutkan bahwa birokrasi semerawutlah yang menjadikan program-program tersebut tidak tepat sasaran dan tidak tepat guna. Bahkan tak sedikit dana-dana tersebut terhenti pada kantong-kantong orang gila yang berdasi. Adakalanya juga dana-dana tersebut sampai pada tujuan, namun sudah tidak utuh lagi. Misalnya, dari pusat dana seratus persen, nanti ditransfer ke provinsi berkurang sepuluh persen sehingga tinggal Sembilan puluh persen, selanjutnya ditransfer lagi ke kabupaten, berkurang lagi sepuluh persen, kemudian ke kecamatan, berkurang lagi sepuluh persen, nanti kalau sudah sampai sekolahan, masih juga dikurangi sepeluh persen. Jadi dana yang – masi untung- nyempek kurang lebih enam puluh persen.
Jika sudah demikian, mana mungkin bangsa ini akan maju. Toh yang seharusnya mendapat jata bantuan-bantuan seperti itu bukan hanya anak pemulung, namun juga anak-anak lainnya yang kekurangan biaya dari berbagai latar belakang keluarga.
Semakin banyak anak yang tidak sekolah, semakin sedikitorang berpendidikan (pendidikan yang bener). Semakin sedikit orang yang berpendidikan, semakin banyak pejabat yang tak berpendidikan. Semakin banyak pejabat yang tidak berpendidikan, semakin rusak bangsa ini.
Jadi, bisa dikatakan pendidikan adalah kunci utama dari keberlangsungan pemerintahan suatu Negara. Memang, masih banyak golongan dari orang-orang kaya yang bersekolah, namun mereka jarang bisa diandalkan. Sebab kebanyakan anak yang lahir mapan dengan orang tuanya, pendidikannya hanya digunakan untuk meneruskan perusahaan orang tuanya. Mempertahankan harta bendanya. Dan tidak memikirkan kehidupan sosial di sekitarnya.
Kita berharap, akan ada sosok pemimpin yang benar-benar peduli dengan dunia pendidikan. Menyediakan sekolah-sekolah gratis yang bermutu dan bebas dari praktek-praktek orang gila berdasi. Jika pemerintah saat ini benar-benar ingin menjadikan bangsa ini maju, tentu mereka saat ini akan sangat peduli dengan pendidikan, sehingga harapan kedapan muncul kader bangsa yang dengan intelektual dan kearifan bisa menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran. Namun, jika pemerintah seolah engan dengan urusan pendidikan, berarti pemerintah sekarang hanya bekerja untuk dirinya sendiri. Mencari popularitas dunia, uang, kemewahan dan kesenangan yang tidak dibawa mati. Sehingga output dari pola pikir amburadul seperti itu akan meembuat kosongpos-pos keilmuan masa depan yang bisa memperbaiki bangsa ini, sehinga bangsa ini hanya diisi oleh orang-orang edan yang bertindak seperit kijang yang tak tau aturan. Semoga kita diberi kekuatan dari-Nya untuk memperbaiki bangsa ini dengan memperbaiki sektor pendidikan yang terjangkau semua golongan. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H