Mohon tunggu...
Chika Putri Dewanthie
Chika Putri Dewanthie Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta

Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Indonesia Negara Tanpa Ayah

29 Mei 2024   08:30 Diperbarui: 29 Mei 2024   08:48 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Belakangan ini Indonesia berada pada peringkat ketiga dunia dalam kategori fatherless country. Fenomena fatherless ini memang telah marak di Indonesia, tetapi banyak orang yang belum menyadarinya. Fatherless country merupakan negara dengan masyarakat yang memiliki kecenderungan tidak merasakan keberadaan dan keterlibatan figur ayah dalam kehidupan sehari-hari seorang anak. Hal ini membuat anak-anak Indonesia menjadi father hungry atau "lapar pada sosok ayah". Fatherless bukan hanya soal kehadiran fisik, tapi juga secara psikologis. 

Sosok ayah diidentikkan dengan memberi rasa 'aman dan nyaman' bagi seorang anak. Maka dibutuhkan alokasi waktu atau quality time untuk keluarga ditengah kesibukan mencari nafkah. Bagi anak yang kehilangan sosok ayah, mereka seringkali akan mencari sosok ayah sepanjang hidupnya. Sosok ayah tersebut bisa dihadirkan oleh kakek atau om. Ayah berperan sangat penting dalam tumbuh kembang anak. Seorang ayah cenderung mengajarkan anak untuk memecahkan masalah dengan solusi yang tepat, mengajarkan tanggung jawab dan moral atau tata krama agar anak dapat bertindak dengan lebih bijak. 

Penyebab fatherless yang sering terjadi disebabkan oleh perceraian kedua orang tua, anak akan kehilangan kesempatan berkomunikasi secara langsung. Misalnya perasaan amarah terhadap mantan pasangan menyebabkan ibu mencegah anak bertemu dengan ayahnya. Selain perceraian kedua orang tua, penyebab fenomena fatherless adalah pernikahan jarak jauh atau long distance marriage (LDM), risiko pekerjaan ayah yang bekerja di luar kota atau luar negeri membuat anak dan ayah jarang bertemu serta menimbulkan kesejangan komunikasi dan interaksi, penyebab fatherless selanjutnya adalah ayah yang meninggal. 

Budaya patriaki juga termasuk penyebab terjadinya fenomena fatherless dalam keluarga yang membagi peran sesuai gender. Budaya patriaki secara garis besar memiliki makna ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki. Laki-laki dianggap lebih dominan dan memiliki hak lebih banyak untuk memutuskan sesuatu. Fenomena fatherless faktor budaya patriaki ini adalah sosok ayah hadir secara fisik namun minim kontribusi atau tidak pernah terlibat dalam pengasuhan anak, segala urusan pengasuhan hanya dibebankan kepada ibu, ayah merasa tidak bertanggung jawab urusan anak karena sudah cukup berat mencari nafkah, padahal baik Ibu maupun Ayah memiliki tanggung jawab yang sama besar dalam mendidik anak dan membesarkan anak, akan tetapi pada prakteknya masih banyak orang yang menitik beratkan tanggung jawab tersebut pada Ibu. 

Budaya patriaki ini masih melekat pada masyarakat Indonesia, tidak bisa dipungkiri bahwa beban pengasuhan anak lebih banyak berada di pundak ibu. Selain kewajiban reproduksi, setelah melahirkan pun seorang ibu masih dilimpahi kewajiban penuh dalam pengasuhan anaknya. Hingga kini masih banyak masyarakat yang memandang bahwa pekerjaan rumah tangga sudah sewajarnya dikerjakan oleh perempuan. Dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang ditemukan jika seorang ayah turut serta dalam membantu pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak akan dinilai sebagai kegagalan seorang ibu dalam mengurus rumah tangganya. Padahal pada dasarnya pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak harus melibatkan peran ayah dan ibu. 

Dampak dari fenomena fatherless adalah kondisi psikologis anak yang tidak matang mengakibatkan anak akan memiliki sifat childish, gangguan emosi atau perilaku anak, penurunan peforma akademik, sulit berkomunikasi, beradaptasi, dan memecahkan masalah, serta kemampuan mengambil risiko yang rendah. Anak yang mengalami permasalahan fatherless biasanya kurang atau ragu-ragu dalam mengambil keputusan dengan berbagai situasi serta kondisi yang membutuhkan keputusan cepat dan tegas. 

Fatherless harus dicegah, khususnya pada keluarga yang masih lengkap secara fisik, ayah dan ibunya, cara mengatasi fatherless dengan meningkatkan kesadaran, dan memperkuat serta membangun keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak. Ayah dan Ibu harus saling mendukung dan melengkapi satu sama lain dalam rumah tangga serta pengasuhan anak. Keseimbangan peran ayah dan ibu dalam mengurus anak harus diperhatikan agar peran suami istri setara. Selain itu mengajarkan kepada anak misalnya anak laki-laki melakukan pekerjaan rumah seperti mengepel, menyapu, mencuci baju itu hal yang wajar dan bukan suatu hal tabu, sebagai orang tua tentu tidak membatasi mana yang menjadi tugas dan kewajiban wanita dan laki-laki.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun