Tanggapan terhadap Kantong Plastik Berbayar
Kini, penggunaan kantong plastic dikenakan biaya sebesar Rp 200,00 per lembar secara nasional. Bahkan kabarnya harga kantong plastik ini sedikit lebih mahal di Ibukota. Hal ini diberlakukan dengan harapan mebgurangi penggunaan kantong plastic. Tentu saja hal itu mengundang berbagai tanggapan dari masyarakat.
Biaya selembar kantong plastik -yang di daerah saya harganya lebih murah daripada sebungkus permen- dirasa kurang berpengaruh pada kebiasaan menggunakan kantong plastik dalam kehidupan sehari- hari. Warga lebih memilih mengeluarkan uang lebih daripada harus membawa kantong sendiri sehingga kebijakan ini cenderung dianggap oleh beberapa orang sebagai pemanfaatan keadaan, yakni mengeruk keuntungan lebih.
Namun, walaupun demikian, ada juga segelintir orang yang memilih membawa kantongnya (tote bag) sendiri. Orang- orang ini tidak berpikir praktis seperti yang lain. Mereka pun tidak menghiraukan untung- rugi selembar kantong plastik. Mengapa?
Mencintai bumi
Tak sedikit penyajian informasi besarnya jumlah/berat sampah plastik dalam lingkup nasional maupun dunia per tahun yang telah disebarluaskan dalam bentuk presentase infografik. Pada umumnya, kita terperangah, prihatin sejenak, tapi kemudian melupakan dan mengabaikannya. Tentu saja hal ini memprihatinkan.
“Yang lain saja tidak mau, mengapa saya harus bawa kantong sendiri? Itu tidak berpengaruh pada bumi” adalah pemikiran yang sebaiknya dihilangkan. Suatu kebiasaan baik harusnya dimulai dari sendiri. Daripada mengikuti arus, mengapa tidak menjadi arus?
Mengurangi penggunaan kantong plastik adalah hal kecil bentuk cinta kita pada bumi. Pergunakanlah tote bag karena anda mencintai bumi, bukan karena selogam dua ratus rupiah.
Persahabatan dengan Bumi
Pandanglah bumi sebagai rumah, bukan sekadar planet ketiga dari matahari yang satu- satunya didiami makhluk hidup di sistem tata surya. Meskipun nantinya ditemukan inovasi maupun penemuan yang meningkatkan kemungkinan manusia tinggal di planet lain di tata surya, bila ditawarkan, saya sih enggan pindah ke “rumah baru”. Bumi bukanlah barang yang dipakai sebatas “umur ekonomis”- nya, dibuang atau diganti bila rusak.
Seiring majunya peradaban, persahabatan manusia dengan alam (termasuk bumi) ikut tergerus, ibarat kacang yang lupa kulitnya. Alih- alih insan yang semakin cerdas, di satu sisi manusia malah semakin bodoh. Dulu, pada masa mesolitikum, manusia purba mulai berpikir untuk bertahan hidup dengan berburu dan meramu. Mereka tidak serta merta mengetahui cara bercocok tanam dengan benar; tanaman apa saja yang bisa dikonsumsi, darimana bibitnya, cara merawat, memanen, mengolahnya. Dulu, belum ada buku panduan budi daya maupun informasi praktis di internet. Lalu dengan apa nenek moyang kita itu berhasil bertahan hidup dan melaju hingga ke peradaban berikutnya? Satu- satunya jawaban adalah mempelajari dan berkomunikasi dengan alam. Bersahabat dengan alam.
Kalau dari sudut pandang marxisme, temanilah musuhmu daripada habis dilawannya. Namun demikian, saya mengajak anda untuk melihat dari sudut pandang yang lebih beradab: daripada membuang waktu dengan saling bermusuhan, lebih baik menikmati waktu dengan hidup harmonis bersama.
Bayangkan manusia purba yang bertahan hidup ala hutan, hidup bersama hewan dan tumbuhan sebagai makhluk yang sejajar, orang- orang peradaban kuno yang berhasil menemukan sistem kalender sebagai asal mula astronomi, para pelayar tradisional yang terampil membaca langit untuk memprediksi cuaca dan juga sebagai GPS-nya. Hal- hal demikian mengundang rasa penasaran dan cemburu bagi beberapa orang mengenai pengalaman hidup bersama alam (dan bumi). Jujur saja, kita sama sekali tidak mempunyai gambaran mengenai hal itu.