Pada acara adat pernikahan, berbagai syukuran, sajian ikan mas yang diarsik sudah menjadi menu wajib suku Batak. Mamak selalu membawa sepotong ataupun seekor ikan arsik ke rumah untuk kami santap. Tidak istimewa, sudah biasa. Ompung bilang ikan selalu bergerak maju dan tak dapat mundur, kuliner simbolis akan harapan baik kepada yang menyantapnya, sampai bosan aku mendengarnya.
Aku selalu tidak sabar memilah duri yang tidak sedikit pada ikan mas itu. Bapak menyarankan untuk selalu memilih bagian lehernya, durinya besar- besar dan mudah dipilah. Beliau benar. Kuah kunyit segar dengan racikan lengkuas dan dilengkapi dengan pedasnya andaliman yang membasahi nasi putih menyegarkan lidah dan kerongkongan. Aroma daun serai, jahe dan rempah nusantara lainnya menyempurnakan cita rasa yang khas pada arsik. Tiada bandingannya.Â
Yang dulunya kupikir tidak istimewa sama sekali dan membosankan, kini terasa sangat istimewa dan luar biasa. Arsik ikan mas yang orisinal resepnya hanya dimengerti dan diperoleh dari tanah Batak. Kini ketika aku sudah tinggal di kota orang, arsik menjadi makanan mewah. Dulu aku tidak memikirkan harga dan tak perlu repot memikirkan untuk membeli arsik, sudah menjadi makanan sehari- hari dalam setiap acara, kini terasa langka dan mahal. Bahan tertentu hanya dapat diperoleh di Sumut, biaya dsitribusi membuat harganya melejit, mengeringkan isi dompet anak kos sepertiku.
Pelayan menyajikan sepiring ikan mas arsik dan juga sepiring nasi, mempersilakanku menyantapnya. Tidak mengapa, aku bersyukur telah menemukan Rumah Makan Ola Kisat di sini, lidahku dipertemukan dengan sajian kampungku. "Mak, sekarang aku lagi makan arsik," seruku girang dalam hati.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H