Mohon tunggu...
Matilda Narulita
Matilda Narulita Mohon Tunggu... -

Simply a happy creature! Pengajar Muda di Maluku Tenggara Barat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

#books4MTB : Menyalakan Pelita Harapan di Maluku Tenggara Barat

14 September 2011   18:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:57 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak banyak yang tau kalau tanggal 8 September dicanangkan sebagai Hari Melek Huruf Internasional (International Literacy Day) oleh UNESCO sejak tahun 1965.

Literacy is a human right. UNESCO meyakini bahwa setiap anak berhak memiliki pijakan yang kuat dalam membangun potensi dirinya lewat pendidikan, yaitu kemampuan membaca.

Dalam pidatonya pada perayaan International Literacy Day tanggal 8 September 1994, Presiden Clinton pun mengungkapkan bahwa “Literacy is not a luxury, it is a right and a responsibility.”

Faktanya, di ujung tenggara Indonesia, literacy is still a luxury. Ironis memang, ketika kemewahan bagi sekolah di Jakarta diasosiasikan dengan SPP mahal, tenaga pengajar asing, pun kelas internasional dengan fasilitas super lengkap. Sementara di pelosok negeri, sekian ribu kilometer dari Jakarta, jangankan bisa membaca, bisa duduk di bangku sekolah saja bisa jadi merupakan suatu kemewahan. Kemampuan baca tulis justru menjadi barang langka di sekolah.

Merujuk pada pidato Clinton, mari menggarisbawahi kata responsibility. Buta aksara atau illiteracy jelas menjadi isu penting di dunia pendidikan. Pemerintah mewajibkan setiap anak untuk menempuh pendidikan dasar selama 9 tahun, sehingga wajar saja jika sekolah –terutama Sekolah Dasar– menjadi tumpuan utama sekaligus dipandang sebagai lembaga yang paling bertanggung jawab atas terbebasnya anak dari buta aksara. Tentu, beban terberat ada di pundak guru, yang merupakan ujung tombak sekolah.

Tapi apa iya masalah ini hanya menjadi tanggung jawab guru?

Sebagai Pengajar Muda di pelosok desa di Maluku Tenggara Barat (MTB), dengan keterbatasan sarana prasana yang mendukung kegiatan belajar mengajar, tentunya sulit jika kami harus berjuang memberantas buta aksara sendirian. Kami percaya, pendidikan bukan hanya tanggung jawab sekolah. Pendidikan bukan hanya tanggung jawab guru di kelas. Pendidikan bukan sekedar mengejar angka melek huruf yang tinggi, tapi juga menjadi benih tumbuhnya minat baca dalam diri anak-anak.

It is not enough to simply teach children to read; we have to give them something that worth reading.


  • Katherine Patterson


Bayangkan kilatan antusiasme di mata anak-anak ketika membuka halaman demi halaman buku, meresapi cerita yang mengalun di tiap lembarnya, melebur dalam imajinasi yang membuncah, larut menikmati pengalaman baru dalam hidupnya : membaca buku.

Ya, membaca buku adalah pengalaman baru bagi anak-anak di pelosok MTB. Bukan karena rendahnya minat baca mereka, melainkan terbatasnya akses akan buku-buku berkualitas. Oleh karena itu, memperingati International Literacy Day atau Hari Melek Huruf Internasional 2011, kami ingin mengajak semua pihak untuk bersama-sama terlibat dan berkontribusi dalam program #books4MTB, sebuah program pengadaan perpustakaan di SD tempat Pengajar Muda MTB ditugaskan.

Caranya :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun