Hari-hari terakhir ini ramai dibicarakan cerita tragis meninggalnya (bhs kasarnya -bunuh diri-) remaja putri kelas 3 SMP. Dari banyak pembicaraan dan obrolan ada beragam komentar, ada yang bilang kasian, ada yang bilang kok cupet (pendek akal) banget ya, ada lg yang komen ' yang sakit aja diobatkan biar sehat lha ini yang sehat malah pilih mati'... Bukan mau ikut mengadili dan menghakimi (ga pada posisi untuk itu) juga bukan untuk menyalahkan (entah sianak atau ortunya) tulisan ini dibuat. Hanya sekedar menyampaikan permenungan sendiri saat mendengar ceritanya. Dari berbagai sumber berita (katanya) penyebab bunuh diri adalah gara-gara putus cinta ditambah lagi diomeli orangtuanya. Saat sedang sendiri tiba-tiba terpikir, cerita menyedihkan ini mungkin saat ini hanya kita baca tapi tidak menutup kemungkinan (entah setahun atau sepuluh tahun lagi) bisa terjadi pada keluarga kita, teman atau tetangga kita (semoga tidak). Otak berpikir tangan mengetik dan mulut merapal doa... 'semoga tidak terdengar dan terjadi lagi... amin'
Seandainya ada seseorang yang hendak bunuh diri (mungkin) karena merasa sudah tidak ada jalan keluar dan tidak ada orang yang bisa diajak berbicara. Saya menulis dari sisi seorang manusia yang juga pernah menjadi abg (ratusan tahun yang lalu) dan juga skarang dengan profesi sebagai ibu. Sebagai (mantan) abg, ada banyak masalah mulai dari cowok, tugas sekolah, pergaulan sosial dan tidak jarang problem dirumah. Saat ada masalah dan tidak bisa menceritakan keorang-orang terdekat rasanya dunia begitu rumit tidak nyaman sesak dan menyebalkan. Dari sisi sebagai orang tua kadang merasa kesal saat anak-anak susah diberi pengertian dijelaskan bahkan sampai dengan teriak-teriak. Tapi saat mendengar seorang anak dengan harapan hidup yang begitu besar dan jiwa yang seharusnya sedang berkembang dengan indahnya tiba-tiba terputus dari jalinan kehidupan dari orang-orang yang pernah (dan selalu) menyayanginya... dada terasa sesak dan berjuta tanya muncul...
Sudah cukupkah kasihku pada anak-anakku? Apakah aku ortu yang cukup baik untuk mereka? Apakah mereka bisa dan berani untuk mengungkapkan permasalahan yang mereka hadapi padaku? Mampukah mereka bercerita dengan santai seperti sahabat, teman? Atau terlalu keras dan egoiskah diriku? Sebagai orangtua, sudahkah aku menunjukkan keterbukaan untuk menjadi tempat bertanya dan mencari jawaban? Sudahkah aku berkembang lebih jauh mengikuti arah perkembangan emosional seorang anak? Orangtua macam apakah aku, kolot atau sesuai dengan kebutuhan anak2? Sudah cukupkah doa yang kupanjatkan untuk menjaga dan membimbing setiap langkah mereka?
Semoga jawaban atas sejuta tanyaku akan membawaku pada bermillyar tanya yang lain untuk membantu menghadapi perkembangan dan pertumbuhan mereka disetiap masa......
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H