Mohon tunggu...
Suci Gulangsari
Suci Gulangsari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Menulis dari hati

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

PPDB 2019: Ketika Sang Menteri Menentang Sunnatullah

19 Juni 2019   11:48 Diperbarui: 19 Juni 2019   11:54 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu sunatullah (hukum alam) yang berlaku di alam semesta adalah kompetisi atau persaingan. Siapa yang menang dia akan tetap hidup. Hukum ini berlaku bagi seluruh makhluk hidup.

Tumbuhan, binatang apalagi manusia. Dalam menggapai kemuliaan, kemakmuran dan keadilan (meski keadilan itu ambigu), manusia selalu berkompetisi. Dan itu kodrat. Untuk mendapatkan surga pun harus berkompetisi. Siapa yang pahala kebaikannya tinggi, kelak dijanjikan surga oleh Tuhan.

Dalam beberapa minggu terakhir, otak waras kita diusik oleh pelaksanaan sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang lain dari biasa. Eksekusi terhadap Permendikbud no 51 tahun 2018 yang mengatur PPDB dengan sistem zonasi telah menimbulkan kegaduhan. 

Sekaligus membuat kegalauan massal di kalangan calon peserta didik berikut orangtuanya. Berbagai obrolan di warung kopi, arisan, sosial media, meme kini sejenak beralih dari topik pilpres ke PPDB.

Seperti dilansir dari laman kemdikbud.go.id, tahun ini, upaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI yang dimotori Prof. Dr. H. Muhadjir Effendy, MA untuk mendobrak mental sekolah favorite, benar benar dilaksanakan. Kebijakan Muhadjir, sang menteri, mantan Rektor Universitas Muhammadyah Malang, Ketua Dewan Pembina Pengurus Pusat Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Islam Swasta (BKS-PTIS) yang sekaligus Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, dimaksudkan untuk mencapai pemerataan kualitas pendidikan. Zonasi dianggap solusi paling tepat untuk tujuan tersebut.

Lantas, apakah tujuan itu sudah berbanding lurus dengan hasil yang diharapkan? Sepertinya masih jauh panggang dari api.  Riilnya, sistem penerimaan siswa berbasis zonasi itu justru menuai tanggapan minor oleh sebagian besar masyarakat.  

Bertujuan untuk keadilan, kebijakan menteri pengganti Anies Bawesdan itu justru dianggap menciptakan ketidakadilan baru. Tak berlebihan juga kiranya bila penulis mengatakan bahwa Muhadjir telah mengabaikan prinsip prinsip hukum alam. Sebab menginterprestasikan keadilan sebagai pemberian kemudahan (baca: kemenangan) tanpa kompetisi, sama halnya dengan menentang  sunnatullah.

Sejak dulu orangtua kita mengajarkan: Siapa menanam dia memanen. Kalau tidak ikut menanam, lantas ada pihak tertentu - dengan segala kuasa dan kewenangannya, memberi peluang seseorang tanpa syarat untuk ikut memanen, itu perampasan hak namanya. Lalu, masihkan kita layak membicarakan keadilan? 

Bagi saya, entah yang lain, rasa adil itu bukan semata mata soal pembagian yang sama rata, tapi  soal kepantasan yang patut diterima atas usaha yang telah kita kerjakan.

Ungkapan: Man Jadda WaJada, barang siapa bersungguh-sungguh pasti akan mendapatkan hasil. Where there is a will there is a way ! di mana ada kemauan, pasti di situ ada Jalan. Ini berlaku untuk siapa pun, apa pun. 

Termasuk kepada manajemen besar pengelola pendidikan. Keliru bila pepatah bijak ini justru dipersepsikan secara terbolak balik untuk 'memaksa' calon peserta didik agar tidak favorit minded.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun