Mohon tunggu...
Suci Gulangsari
Suci Gulangsari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Menulis dari hati

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

April Cenat-Cenut

17 April 2011   03:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:43 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

April, menjadi pintu gerbang utama para orangtua yang mau tak mau harus memasuki areal penuh ‘hantu’. Areal paling menggelisahkan, sekaligus menegangkan. Di sini, gerbang akan mengantar orang tua pada etape demi etape, diantaranya etape pertaruhan, bahkan bisa jadi etape pergulatan seru antara keinginan, pikiran dan kenyataan demi mendapatkan hak atas pendidikan terbaik bagi putra putrinya. Orang bijak bilang “Banyak jalan menuju ke Roma”. Namun sepertinya siempunya istilah belum pernah merasakan menjadi orang yang tak punya pilihan, selain harus menapaki satu-satunya jalan yang terbentang di depan mata. Karena berbagai alasan, tidak semua orang bisa merasakan banyaknya jalan menuju ke Roma. Ada faktor himpitan ekonomi, faktor tidak adanya kekuasaan (baca=ketidakberdayaan), faktor ketidaktahuan, dan sebagainya. Faktor-faktor itulah yang harus diakui membuat sebagian besar orangtua cenat-cenut saat memasuki bulan April dan tiga bulan berikutnya hingga Juni. Bahkan, tidak sedikit yang akhirnya harus pilih ‘balik kucing’ karena frustasi, diam di tempat karena bingung tak tahu harus bagaimana, atawa nekad dengan segala risiko. Salah satu risiko yang harus ditanggung orang tua dalam kategori nekad adalah merelakan sepanjang hidupnya untuk terus melarikan diri dari kejaran debt collector usai menguliahkan anaknya di perguruan tinggi negeri. Bahkan, kasus yang terakhir, nyata terjadi di sebuah instansi pemerintah di wilayah Malang Raya.  Ada pejabat setingkat esselon tiga yang harus selalu ‘kucing-kucingan’ dengan debt collector Citi Bank gara-gara hutang sekian ratus juta kepada bank yang lagi dilanda masalah itu. Lantaran hutang yang dipergunakan untuk ‘menebus’ diterimanya  sang anak di sebuah perguruan tinggi negeri di Bandung tersebut, si pejabat jadi jarang ngantor atau keluar  kantor dengan alasan tidak jelas. Selain tamu tidak terlayani dengan baik, pekerjaan carut marut, anak buahnya pun jadi seperti  ‘anak ayam kehilangan induk’. Contoh di atas hanya sepersekian persen dari banyaknya efek cenat-cenut berkelanjutan yang harus diderita orangtua akibat cita-cita mulia memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya. Sebenarnya, gejala cenat-cenut akan mulai terasa saat menginjakkan kaki pertama di bulan April, cenat-cenut lantaran khawatir anaknya tidak lulus menghadapi ‘hantu’ ujian. Selanjutnya gejala itu akan semakin membuat orang tua tidak nyaman saat menghadapi ‘hantu’ pengumuman. Bukan hanya orangtua yang anaknya tidak lulus saja yang cenat-cenut, yang anaknya lulus pun, tidak berarti langsung  plong. Masih banyak ‘hantu’ lain yang menghadang, bukan tidak mungkin lebih menyeramkan!! ‘Hantu’ selanjutnya yang bergentayangan, apalagi kalau bukan penerimaan siswa/mahasiswa baru. Dulu, salah satu alasan orang tua menyekolahkan anaknya di sekolah negeri adalah karena murah, bahkan gratis. Orangtua tidak harus mati-matian berburu sekolah favorit karena tidak ada jurang pemisah yang begitu dalam antara sekolah negeri satu dan lainnya. Kualitas satu sekolah dengan yang lainnya, bukan sekadar dinilai lantaran up to date nya fasilitas fisik atau fasihnya para siswa berbahasa ‘kaum inlander’, tapi lantaran masih ada idealisme dan semangat dari seluruh elemen sekolah untuk memajukan sekolah melalui prestasi akademik maupun non akademik. Mana yang tidak memiliki semangat itu, ya tertinggallah dia. Namun, zaman sudah berubah, dengan perubahan demi perubahan formula sistem pendidikan yang berulangkali diolah, diracik sesuai ’selera pemerintah’, dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional, maka paradigma berfikir orangtua masa kini (jujur, termasuk saya sendiri) pun digiring atau tepatnya dipaksa untuk berubah mengikuti selera itu. Padahal sungguh, hati saya sebenarnya miris. Maaf, kini, sama seperti orangtua yang lainnya, sayapun jadi sedikit underestimate pada kualitas sekolah pinggiran, terutama yang gratis. Logikanya, mana bisa kualitas anak didik di sekolah gratis yang nota benenya sangat minim fasilitas, berpacu atau bahkan mungkin sejajar dengan  mereka yang dididik dengan bejibun fasilitas. Bahkan, dari obrolan saya dengan beberapa pengelola sekolah, terutama yang bukan Rintisan Sekolah Bertarif ..eh Bertaraf International ..ada semacam ‘kecemburuan’ dan ‘ketidakikhlasan’ atas perlakuan yang jauh berbeda antara sejawat mereka sendiri, yakni sekolah negeri. Kalau iklimnya sudah begini, bagaimana bisa menciptakan persaingan yang sehat? Bagaimana para pengelola sekolah ini bisa memiliki kepercayaan diri untuk memberikan best education bagi anak didiknya? Inilah yang saya sebut ‘hantu’ penerimaan siswa/mahasiswa baru itu. Menjadi ‘hantu’ karena orangtua takut anaknya tidak diterima di sekolah pilihan, sehingga terpaksa harus ‘tercebur’ di sekolah yang dikelola dengan manajemen ‘ketidakikhlasan’. Bagi yang telah lolos dan diterima di sekolah impian, etape  paling mendebarkan berikutnya, yang membikin kepala makin cenat-cenat adalah bertemu dengan “hantu” Komite Sekolah. ‘Deal’ antara orangtua siswa baru dengan Komite Sekolah selalu membuat pusing tujuh keliling, apalagi orangtua yang tidak punya ‘cantolan’ penghasilan lebih. Berdasarkan fakta, deal besaran uang sumbangan pembangunan selalu mencengangkan. Duh .. darimana lagi orangtua bisa mendapatkan dana itu bila tidak dengan cara mengutang kiri kanan. Bisa dipastikan setiap tahunnya, pada antara bulan April hingga pertengahan Agustus, jumlah nasabah pegadaian, BPR, dan lembaga keuangan lainnya, meningkat tajam. Inilah fakta yang tak terbantahkan. Fakta-fakta yang makin menguatkan bahwa hidup di negara yang subur makmur ini, belumlah nyaman. Ini baru tentang sekolah, masih ada lini lain dalam hidup bermasyarakat, terutama yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang selalu menempatkan orangtua (masyarakat biasa)  pada kondisi cenat-cenut berkepanjangan. Saya bukan praktisi pendidikan, saya hanya perempuan biasa, ibu, orangtua dari anak-anak yang terus tumbuh berkembang dan sangat membutuhkan pendidikan yang layak bagi masa depan mereka kelak. Saya tidak paham bagaimana sebuah formula sistem pendidikan itu diracik hingga bisa diterapkan secara nasional tanpa harus mengedepankan nilai-nilai humanisme. Bahkan lebih cenderung Kapitalis.  Bukankah setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan sesuai dengan amanat Undang-Undang? Tentunya yang dimaksudkan adalah pendidikan yang layak bukan? Saya hanya  mengungkapkan segalanya apa adanya sebagaimana yang saya lihat, cerna, dan fikirkan. Bila ada salah-salah ‘menerjemahkan’ kebijakan, mohon maklum …salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun