Tabe' Daeng...
Kita tahu kenangan selalu hadir kapan pun menginginkannya kembali. Saya ingin menceritakan semua ini lewat telepon tapi saya tidak bisa menyusun kata-kata yang tidak membuat saya gugup dan membuat Daeng salah mengerti tentang apa yang saya jelaskan.
Hamparan sawah beserta kicau burung yang biasa kita pandangi penuh kekaguman. Taman di mana kita biasa berlarian di antara tembok-temboknya dan terkadang berlomba mengitarinya. Mencoba jajanan dan menyaksikan kesenian rakyat setiap kali festival tahunan dirayakan di sana. Semua itu tidak akan disaksikan oleh anak-anak kita lagi nantinya. Sejak tiga bulan yang lalu telah berdiri kokoh tembok tinggi yang membelah dua taman kita. Termasuk di dalamnya rumah-rumah adat yang menyampaikan keragaman budaya dan menceritakan sejarah perlawanan leluhur mempertahankan tanah kita tidak akan bisa dinikmati dengan bebas seperti masa kanak-kanak. Apakah di tempat Daeng ada yang serupa dengan ini?
Menurut mereka, inilah yang namanya pembangunan menuju kota dunia. Disekitar rumah kita nantinya akan didatangi manusia dari berbagai belahan dunia sehingga tidak akan sesepi ini lagi. Masih lekat dalam ingatan saya bagaimana kakek bercerita penuh semangat seolah semangatnya tidak pernah berkurang sejak ikut mempertahankan tanah ini. Saya merindukan kakek. Tapi Daeng tidak perlu kuatir. Di atas tanah kebanggaan kita itu akan dibangun taman wisata dengan fasilitas waterboom, taman burung, dan taman gajah. Saya mulai membayangkan kicau burung ditengah keramaian manusia yang tampaknya akan lebih indah dibandingkan kicau burung dalam heningnya pagi seperti saat ku tuliskan catatan ini untuk Daeng. Masih ingatkah Daeng tentang khayalan kecilku mengendarai gajah bak putri dari India? Sebentar lagi saya akan bisa mewujudkannya. Pasti saya kirimkan foto-foto yang paling bagus.
Tapi sebelumnya saya ingin minta sarannya Daeng, apakah memakai pakean renang untuk mandi di waterboom nanti tidak akan membuat Karaeng murka? Sudah lama sebenarnya saya ingin memiliki baju BODO tapi sepertinya nanti akan jarang dipakai. Jadi apakah tidak lebih baik saya belikan baju renang saja uang yang saya simpan Daeng? Saya benar-benar bingung. Saya berharap Daeng ada di sini.
#
Sejumput tanah dalam bungkusan kain perca berwarna hitam ini seperti membesar dan ingin menguburku sedalam-dalamnya agar tidak kurasakan malu atas aib ini. Di berbagai tempat dapat kurasakan bau khas orang-orang yang berasal dari tanahku. Seharusnya aku tidak sendiri meratapi segala yang tertinggal di sana. Aku tidak mengerti bagaimana lembaran-lembaran kertas bernama uang mampu menghapus kenangan kuat atas tanah kami. Kadang seakan seribu badik ditusukkan di atas tubuhku ketika menyesali kenapa tanganku tidak cukup untuk merangkul keseluruhan tanah yang menjadi titian sejarah kelahiranku.
Aku tidak mengerti bahasa yang mereka gunakan. Ketika mereka bilang inilah yang namanya pembangunan sambil menyusun pagar yang menandingi pagar yang dibangun leluhurku. Tingginya berdiri angkuh di atas tanah yang kami keramatkan seolah ingin mengatakan inilah diriku yang bernama pembangunan jauh melebihi martabat yang pernah nenek moyangmu bangun ratusan tahun yang lalu. Meski yang tampak dimataku pagar warisan tetua kami jauh lebih kuat melewati lintasan jaman dan memberi kami identitas dengan jiwa dan tubuh yang merdeka.
Aku hanya ingin kalian semua tahu tanah yang kalian keruk itu dipertahankan dengan darah. Tapi kenapa kalian semua tidak mendengar teriakan ketika aku menyeruak di kerumunan dan berpuisi di tengah lautan manusia sebangsa mereka yang sedang berjalan di atas harga diri kami sambil menebar benih-benih mimpi keserakahan dengan topeng yang berwujud moralitas. Sungguh menyepi bahkan tidak mampu mengatasi rasa mual tiba-tiba di tengah riak budaya yang bernama modern dan tempat di mana yang bernama manusia hanyalah orang-orang yang merasa memiliki kekuasaan dan orang-orang yang bermandikan uang. Bahkan untuk hidup selayaknya manusia kalian harus menjadi serupa anjing yang pandai menjilati tuannya. Anjing peliharaan yang selalu menjaga keselamatan tuannya tapi malah ketakutan ketika tuannya meninggalkannya. Tuan-tuan yang hatinya dibekukan untuk makanan anjingnya.
Kemarin ketika bertemu temanku bahkan ia sudah tak memiliki hati karena sudah dibungkusnya untuk kado Hari Ibu. Mungkin ini jawaban kenapa mereka mudah melupakan kenangan tentang tanah kami karena tak lagi memiliki hati. Tapi aku sudah lama kehilangan ibu lalu kemana akan ku kirimkan hatiku. Tidak juga kepada adikku karena aku tidak ingin dia tidak sanggup mengendarai gajah impiannya, bermain seluncuran air di atas tanah yang dibayar dengan darah oleh kakek kami dan menikmati suara burung di tengah keramaian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H