Mohon tunggu...
Asep Rahman
Asep Rahman Mohon Tunggu... profesional -

mendengar, melihat, membaca, lalu menulis

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Warisan Budaya yang Terlupakan

12 Desember 2013   08:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:01 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13868134901513660313

[caption id="attachment_308044" align="aligncenter" width="640" caption="Seorang ibu di Desa Jayakarsa, Minahasa Utara, Sulawesi Utara (12 Juni 2013), menjelaskan tentang tanaman obat dipekarangnya serta khasiatnya dengan penuh semangat kepada penulis."][/caption] Sebagai bentuk refleksi, kita mundur ke belakang, 22 tahun yang lalu tepatnya tanggal 12 Desember 1991, Candi Borobudur, Candi Prambanan, Taman Nasional Komodo, dan Taman Nasional Ujung Kulon, terdaftar sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO pada Sidang Konferensi Warisan Dunia yang ke-15 di Carthage, Tunisia. Sejatinya Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan warisan dunia, termasuk di bidang kesehatan, yaitu pengobatan tradisional. Pengobatan tradisional akan terus memudar? Ayurveda, Unani, Yoga, Naturopathy, Akupunktur, merupakan beberapa teknik pengobatan tradisional yang telah mendunia. Apakah di Indonesia tidak memiliki pengobatan tradisional tersendiri? Pengalaman penulis sejak berkeliling ke Jawa, Sulawesi, Maluku, hingga Nusa Tenggara, negeri ini sungguh kaya akan pengobatan tradisional. Ada berbagai macam teknik pengbatan tradisional yang telah berkembang turun-temurun dengan nama dan istilah yang berbeda, mulai dari pijat refleksi, pengobatan patah tulang, hingga metode transfer energi yang diyakini mengobati segala penyakit. Apakah ini sekedar efek plasebo? Butuh penelitian lebih lanjut. Justifikasi sepihak hanya akan meruntuhkan daya pikir dan bentuk kesombongan ilmiah. Terlupakan, terpinggirkan dan terbengkalai Pengobatan tradisional telah ada jauh sebelum pengobatan konvensional saat ini dikenal. Bisa dikata pengobatan moderen hari ini, merupakan anak dari pengobatan tradisional yang telah melewati berbagai tahapan uji ilmiah. Sebagai warisan budaya, pengobatan tradisional tertulis dan terpahat dalam bukti sejarah melalui lembaran naskah kuno dan relief candi yang menerangkan tentang teknik pengobatan kuno. Untuk Indonesia, kita bisa melihatnya di relief Candi Borobudur dan beberapa candi lainnya, serta dalam kitab kuno Sumanasantaka, Gatotkaca Sraya, Kakawin Bhomawkaya, Kidung Sunda, Usada Ila, Harsawijaya, dan kitab-kitab lainnya, serta beberapa monograf karya penjajah kala itu melukiskan teknik pengobatan nusantara. Dikotomi istilah 'pengobatan tradisional' dan 'pengobatan moderen' bisa dikata melahirkan salah persepsi. Bagaimana jika anda menemukan seorang pengobat tradisional menggunakan peralatan moderen, dimana letak moderen atau tradisional-nya? Jika kita asumsikan bahwa pengobat tradisional mendapatkan ilmu hanya secara turun-temurun tanpa bukti ilmiah, kita juga bisa keliru. Di berbagai belahan dunia, India dan China sebagai contoh, telah mendirikan pusat-pusat pendidikan ilmiah untuk pengobatan tradisional. Lagi-lagi batasan antara tradisional dan moderen/ilmiah, tak lebih hanya sebuah istilah. Namun sayangnya istilah melahirkan stigma untuk menjadi alasan pengobatan dipinggirkan. Secara global, penerimaan negara-negara di dunia terhadap sistem pengobatan tradisional beraneka ragam. China, Korea, India dan Vietnam telah mengintegrasikan sistem pengobatan tradisional dan sistem kesehatannya. Ada juga yang menerapkannya secara inklusif seperti Inggris, Jerman, dan Kanada, dimana negara ini sudah mengakui tapi belum diintegrasikan ke dalam sistem pelayanan kesehatan. Ada juga negara yang tidak melarang dan tidak menganjurkan pengobatan tradisional. Lantas bagaimana dengan Indonesia? Di atas kertas sejatinya Indonesia termasuk kategori negara yang telah mengintegrasikan pengobatan tradisional ke dalam sistem kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan No.1109/MENKES/PER/IX/2007 tentang Penyelenggaraan pengobatanKomplementer-Alternatif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan telah mengurai bagaimana proses integrasi dapat terlaksana dari rumah sakit tipe A hingga Puskemas (Pusat Kesehatan Masyarakat). Puskesmas, juga sebenarnya memiliki program pembinaan pengobatan tradisional. Lantas kenapa tidak jalan? Sengaja ditinggalkan? Beberapa alasan kenapa pengobatan tradisional tidak terlaksana (penelitian awal penulis melalui wawancara dengan beberapa tingkat pengambil kebijakan kesehatan): 1. Tenaga Kurangnya tenaga pengobat tradisional terlatih dan terstandar menjadi alasan utama kenapa proses integrasi gagal terlaksana. Jikalau ada keseriusan kenapa pengobatan tradisional tidak dimasukan dalam kurikulum pendidikan sejak dini, sebagai bentuk rasa peduli akan budaya bangsa. Cara lain dengan mendirikan pusat-pusat studi pengobatan tradisional hingga tingkat ahli. 2. Bahan baku dan peralatan Peralatan pengobatan tradisional yang terstandar susah diperoleh (bisa saja ini hanya sekedar alasan, kenapa). Selain itu bahan baku pengobatan tradisional yang ada di alam, ternyata tidak mudah diaplikasikan, karena hal ini berkaitan dengan tingkat keamanan dan keselamatan pengguna yaitu masyarakat. Tidak adanya kaidah baku untuk membuat resep obat tradisional, membuat pengobatan tradisional seperti bermain russian roulette (nyawa sebagai taruhannya). Jika ada keseriusan, kenapa hasil penelitian mahasiswa strata satu tentang khasiat obat dari tanaman lokal dari fakultas farmasi, pertanian, kelautan, kehutanan, kedokteran, atau kesehatan masyarakat, hanya menjadi tumpukan kertas yang tidak dikaji lebih dalam? Apa gunanya laboratorium pemerintah selama ini jika tak dipakai untuk kemaslahatan umat? 3. Bukan prioritas Pengobatan tradisional hanyalah sebuah opsional, bisa dipakai dan bisa ditinggalkan. Ini adalah asalan klasik, lemahnya pendanaan karena bukan prioritas. :D Peran mafia farmasi dan mafia pendidikan Kerjasama antara mafia farmasi dengan penyedia layanan kesehatan adalah sebuah rahasia umum. Obat-obatan di apotik yang nantinya akan diresepkan tidak bisa dipungkiri adanya kong-kalikong perusahaan obat dengan tenaga kesehatan. Jadi jangan heran obat tradisional tak akan menjadi prioritas untuk diresepkan. Mafia pendidikan bisa saja terus mencengkram dunia kesehatan Indonesia. Bayangkan jika tenaga kesehatan kita nantinya hanya mengikuti pendidikan pengobatan tradisional dengan biaya yang sangat murah. Tentu hal ini menjadi ancaman bagi mafia pendidikan kesehatan. Sudah menjadi hal lumrah, jika seseorang ingin belajar ilmu kesehatan harus merogok kantong lebih dalam. Rumus umum, fakultas kedokteran atau kesehatan berperan sebagai tambang sebuah institusi pendidikan. Semua juga tahu itu. (Masalah ini kompleks. Tapi, kita bisa melihat seberapa serius pemerintah peduli akan pengobatan tradisional, melihatnya bukan pada kajian seminar atau perundang-undangan semata, melainkan pada realita lapangan.) Manado, 12 Desember 2013, 09:07 WITA

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun