A good decision is based on knowledge and not on numbers. Plato
Angka 13
Coba perhatikan di rangkaian tombol lift gedung bertingkat, Anda tidak akan jumpai lantai 13. Biasanya, setelah angka 12 maka langsung ‘loncat’ ke angka 14. Atau dari angka 12 maka 12a dulu baru 14. Itulah sebabnya angka 13 kadang disebut 'skip number'. Hal ini tidak lepas dari beberapa kepercayaan, mitos, dan legenda yang mungkin susah diterima secara rasional. Kepercayaan Cina misalnya, menganggap bahwa angka 13 merupakan angka sial, tidak membawa hoki, jarang beruntung. Bukan hanya di Cina, kepercayaan ini juga diyakini dan diaplikasikan di berbagai penjuru dunia.
Tapi tak selamanya, angka 13 selalu dihindari. Nyatanya, walaupun jutaan gedung di Amerika Serikat menghindari adanya lantai 13, namun simbol negara mereka mengagungkan angka 13. Tak sampai disitu, beberapa perusahaan multi nasional seperti McDonalds, Arbyss, Startrek. Com, Westel, dan sebagainya juga memakai angka 13, bisa dilihat jika logo-logo ini diputar secara vertikal. Tapi tahukah kamu bahwa kaum Kabbalis, penganut aliran mistis kuno sejak Fir'aun adalah pemuja angka 13.
Sebelas Duabelas
"Kamu sebelas duabelas dengan Tukul" artinya kamu mirip dengan Tukul. Frasa sebelas-duabelas adalah tren untuk menggambarkan sebuah kemiripan. Sejak era 90-an, novel-novel di Indonesia sudah memasarkan frasa ini.
Pembiayaan Kesehatan
Paradigma kesehatan mengenal adanya paradigma sehat dan paradigma sakit. Dari segi pembiayaan kesehatan, para penganut paradigma sakit melihat bahwa investasi dunia kesehatan adalah sebuah pemborosan, karena anggaran yang harus dikeluarkan tidak akan pernah cukup. Paradigma ini lebih berkiblat pada upaya penyembuhan dan rehabilitatif semata. Sebaliknya, penganut paradigma sehat, menganggap bahwa pembiyaan untuk sektor kesehatan adalah sebuah investasi. Karena sektor kesehatanlah yang berperan besar untuk menopang pembangunan sektor-sektor lainnya. Paradigma sehat lebih cenderung mengutamakan upaya promotif dan preventif, dengan tidak menyampingkan upaya kuratif dan rehabilitatif.
Realitanya, alokasi pembiayaan sektor kesehatan negeri ini hanya berkisar 2 hingga 3% dari total APBN. Apalagi di daerah tingkat provinsi dan kabupaten, sektor kesehatan bukanlah area yang menarik sebagai investasi sosial. Padahal menurut UU Kesehatan No 36 Tahun 2009, sudah jelas tertulis bahwa besaran anggaran untuk kesehatan minimal lima persen dari APBN di luar gaji, dan 10 persen dari APBD di luar gaji.
Mungkinkah para pemimpin negeri ini masih berparadigma sakit?
Ataukah perilaku pimpinan negeri ini dalam membiayai sektor kesehatan seperti para 'trikaideka-phobia', mereka yang takut akan angka 13? Bisa saja, sebelas duabelas.