Terinspirasi dari sosok pemuda gagah dan mempunyai banyak isteri di kawasan buntu dan sekitarnya.(Hamid Al-Buntuwi)
Aku ingat saat kau katakan padaku kalau semua tenaga dan fikiranmu, raga serta jiwamu akan kau curahkan padaku asalkan mau membantumu mengurus dan membesarkan dan menyekolahkan anak laki-laki kecilmu. Tidak seperti sang penggembala sapi yang sampai kini tak kunjung kembali.
Disaksikan oleh kedua orang tuamu, penghulu dan anak laki-lakimu di malam sakral itu. Pesonamu memang membuatku semakin yakin kalau kau adalah pelabuhan terakhirku setelah lima kali menjalani prosesi sakral seperti ini. Meskipun ini bukan yang pertama baginya, tapi aku masih melihat keraguan dalam raut wajahnya. Seperti tidak rela jika harus menghabiskan sisa hidupnya bersama lelaki tua kaya raya sepertiku.
Kini pagi hari kujalani dengan lebih semangat, seperti mendapatkan energi baru yang merasuk ke dalam setiap saraf dalam tubuhku. Ia bisa memuaskan semua hasratku, dalam setiap desah nafasnya membuatku merasa semakin muda dan jika dalam setiap desah nafasnya membuatku bertambah usia sehari, maka usiaku sekarang pasti sudah lebih muda darinya. Bayangkan saja dalam satu malam saja berapa desahan yang keluar dari mulutnya ketika menamaniku di atas kasur merah muda itu.
Kecamuk dalam batinnya terasa saat malam sakral itu diakhiri dengan sebuah kesepakatan serentak “SAH” mereka mengatakan itu kepada penghulu dan semua yang hadir kala itu. Terpaksa melayani nafsu birahi juragan tua dengan lima isteri dan sekarang ia menjadi yang keenam. Sementara anak laki-laki kecilnya belum mengerti apa-apa bahkan ia belum mengenali siapa ayah aslinya dan siapa yang akan menjadi ayah selanjutnya.
Bahkan setelah pesta besar tiga hari tiga malam itupun kau masih belum mau menyentuhku, ranjang merah muda itupun belum mengenalmu. Kini semua telah berubah, dengan sedikit penetrasi dan iming-iming akan menyekolahkan anak laki-laki kecil yang masih belum tahu siapa ayahnya dan yang akan menjadi ayahnya sampai mejadi orang pintar tidak bodoh seperti ibunya yang hanya lulusan sekolah dasar. Kini, ia sudah tidak lagi memikirkan cinta, sudah tidak mau mengingat lagi sang pengembala sapi yang pergi meninggalkan anak dan dirinya.
Usianya memang masih muda, hampir 20 tahun selisih usia kami. Tidak mungkin ia mengerti kalau aku pasangan hidupnya. Aku lebih terlihat seperti seorang ayah baginya dan cucu bagi anak laki-lakinya. Sebelum bertemu denganku hidupnya berantakan, sebagai seorang gadis muda yang hanya lulusan sekolah dasar ia sudah merasa puas dengan penghasilannya yang di dapat dari buruh cuci pakaian di rumah juragan di desanya bahkan sampai mendatangi desa sebelah hanya untuk mencari siapakah orang yang akan memakai jasanya sebagai buruh pencuci pakaian. Orang tuanya sudah renta dan tak sanggup lagi bekerja, karena usianya mereka sering mengalami sakit dan untuk biaya berobat ia harus berhutang kepada rentenir dan para juragan yang (jika) mempunyai belas kasihan.
Akulah juragan itu, orang yang selalu memberikan ia pinjaman untuk mengobati orang tua mereka yang sakit-sakitan. Aku tidak seperti rentenir lainnya yang memberikan pinjaman dengan bunga yang sangat besar, sedang aku tidak meminta imbalan sepeserpun dari setiap uang yang dipinjamnya. Aku senang membantunya karena ia begitu rajin dan telaten dalam mengerjakan tugas-tuganya termasuk mencuci semua pakaianku.
Sampai suatu hari, hatinya tertambat kepada seorang pemuda tetangga desa yang setiap hari menggembalakan sapi di padang rumput dekat desanya. Perjumpaan itu diakhiri dengan sebuah prosesi sama seperti yang kujalani dengannya disaksikan oleh kedua orangtuanya, penghulu tapi tidak dengan anak laki-lakinya di malam sakral itu. Ini memang yang pertama baginya namun tidak ada keraguan yang terlihat dari raut wajahnya. Kejadian itu berselang setahun setelah ia lulus sekolah dasar dan setahun kemudian anak laki-laki kecil itu lahir. Dengan kehadiran anak laki-laki kecil itu, berarti bertambah pulalah kebutuhan yang harus ditanggung oleh sang penggembala sapi. Sapi yang digembalanya satu persatu dijual sampai habis untuk membantu keluarga gadis itu yang kini menjadi bagian dari keluarganya. sampai akhirnya dia harus merantau keluar negeri untuk menafkahi isteri dan anak laki-laki kecilnya.
Aku tidak senang mendegar kabar ia sudah menikah dengan sang penggembala sapi dari desa tetangga, yang dipunyainya hanya sapi sedangkan aku punya segalanya bahkan untuk memborong semua sapinyapun aku sanggup. Untunglah mereka sekarang sudah tidak bersama lagi karena semua sapinya sudah habis dijual kepadaku untuk mencukupi kebutuhan mereka sekeluarga, belum lagi ditambah dengan beban anak laki-laki kecil mereka dan mertuanya yang sering sakit-sakitan. Aku tidak mencintainya karena aku hanya ingin membantunya, itu saja.