Sepertinya banyak di antara kita yang melihat bahwa akhir-akhir ini halaman utama sosial media penuh dengan berita-berita negatif dari calon Presiden satu dengan calon Presiden lainnya. Karena banyaknya saya sendiri tidak bisa tau mana yang benar mana yang bukan, karena rekayasa mudah dilakukan via digital dan pemberitaan yang tidak lengkap akan menghasilkan hasil yang bias.
Kerusuhan yang terjadi bukan kerusuhan fisik, tetapi kerusuhan di sosial media. Ini bukan sekedar pemaparan fakta dari pendukung yang satu dan pendukung yang lain, tetapi lebih ke pemaparan keburukan dari yang lain dengan yang satunya. Dan, mungkin ini awal dari perang saudara atau perang ideologi (saya tidak tahu dan berharap hal ini tidak akan pernah terjadi).
Emosi mulai mencuat dari teman yang satu (maaf, memang kejadian 1998 menguak emosi bagi banyak orang), dan emosi juga mencuat dari teman yang lain karena merasa idolanya terus disalahkan (dan tentu dia menjadi idola karena alasannya sendiri). Tapi ini bukan tentang mereka (calon predisen) lagi, emosi ini mungkin keluar karena dengan menjelekkan idola seorang, berarti menjelekkan pilihan orang itu dan mempertanyakan bagaimana cara mereka berpikir.
Pernahkah kita berpikir, kita menganut suatu prinsip karena hal itu benar. Kalau memang yang paling benar, mengapa ada prinsip yang lain? Setiap orang mengalami hal yang berbeda, terpapar berita yang berbeda, dan akhirnya mengambil kesimpulan yang berbeda.
Bahkan saudara yang dari orang tua yang sama, mengalami pendidikan yang sama dan terpapar informasi yang hampir sama, bisa menghasilkan pengambilan keputusan yang berbeda. Atau orang tua yang berusaha sekeras mungkin menanamkan ideologi pada anak-anaknya, bisa menghasilkan anak dengan pendapat yang berbeda. Jika dalam lingkup sekecil itu bisa terjadi perbedaan pendapat, bagaimana dengan Indonesia yang luas ini. Sepertinya Bhinneka Tunggal Ika itu bukan berarti satu pendapat, tapi kita satu Indonesia.
Ada yang bilang, Indonesia belum siap untuk demokrasi. Kali ini saya mengakui ini mungkin benar. Benar, bukan karena masih banyak yang mendukung calon pemimpin dari Orde Baru, tapi karena belum siap berdemokrasi karena tidak bisa menerima bahwa orang lain memiliki pendapat yang berbeda dengan kita. Jika kedamaian terjadi karena semua orang memiliki pendapat yang sama, saya rasa dunia ini tidak akan damai. Tapi kedamaian bisa diusahakan dengan menghargai bahwa perbedaan itu ada.
Jika dilihat perbedaan yang mencolok bukan dari Pro-Jokowi dengan Pro-Prabowo, tetapi Anti Jokowi dan Anti Prabowo (ini diurutkan berdasarkan abjad, karena belum waktunya untuk mengambil nomor urut calon presiden).
Anti Jokowi (belum tentu pendukung Prabowo) yang merasa Jokowi perlu bertanggungjawab atas tugasnya di Solo yang dulu ditinggalkan (ini sudah masa lalu tapi mungkin masih diingat), lalu kembali ingin meninggalkan Jakarta. Apakah Jokowi meninggalkan Jakarta, Indonesia? Memimpin Indonesia juga membantu memimpin Jakarta (mungkin bisa dilihat di berita kalau beberapa kebijakan pembaruan di Jakarta tidak dapat dilakukan karena adanya kebijakan dari pemerintah pusat).
Anti Prabowo (belum tentu pendukung Jokowi) biasanya memiliki masa lalu yang kelam dan berharap kejadian kerusuhan Mei 1998 tidak terjadi lagi. Bagi pendukung Prabowo akan berkata hal itu belum terbukti. Terlepas dari keterlibatan Prabowo pada kerusuhan itu, harap pendukung Prabowo hargai bahwa masa lalu yang kelam itu tidak bisa dilupakan, mereka tidak bisa mengambil resiko itu. Mungkin Prabowo punya kelebihan yang dilihat oleh pendukungnya, tapi tidak terlihat karena kejadian penting 16 tahun yang lalu.
Pendukung Jokowi dan Prabowo, kita tunggu bersama saja jika sudah resmi, di masa kampanye. Tapi tolong nanti kirimkan berita-berita bukan untuk menjelekkan pasangan yang lain (yang kemungkinan besar jika too much information, saya akan mem-unfollow teman saya itu). Memang segala kebaikan dan keburukan perlu diketahui, karena manusia tidak ada yang sempurna, tapi hanya membicarakan keburukan orang lain tidak akan berujung pada kemajuan (karena informasinya salah sasaran). Menyampah pada sosial media hanya akan berujung pada berkurangnya pertemanan. Saya menggunakan facebook untuk terhubung dengan teman dan saling bertukar cerita (pribadi), memberi informasi yang berguna, dan bukan untuk mencari musuh baru karena perbedaan pandangan politik.
Saya rasa teman saya di facebook sebagian besar sudah dewasa dan bisa memilih sendiri pilihannya berdasarkan fakta yang ada. Jika memang segala kebaikan dan  keburukan dari masing-masing calon pasangan semoga terlihat pada masa kampanye yang bukan hasil rekayasa. Dan saya berharap sosial media punya aturan mengenai Politik sama dengan aturan mengenai SARA yang tidak seharusnya dibahas di sana.
Waktu saya sekolah dulu, guru mengajarkan bahwa prinsip Pemilu itu LUBeR. Langsung, Umum, Bebas, Rahasia. Dan belakangan ditambahkan Jurdil, Jujur dan Adil.
Kalau ada yang tanya saya mendukung siapa, akan saya jawab Rahasia, dan tolong hargai kerahasiaan saya.
Catatan: Ini sengaja ditulis di kompasiana karena tidak ingin membahas politik di media sosial saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H