Perayaan kirab atau arak-arakan Kerbau Bule pada malam 1 suro diawali dengan baris di depan area Keraton Kasunanan Surakarta. Urutan barisan tersebut diawali dengan beberapa Kebo Bule yang mengiringi pusaka, kemudian dilanjutkan oleh barisan khusus keluarga keraton, setelah itu disambung oleh abdi dalem keraton, dan yang terakhir yaitu barisan pangombyong pusaka. Barisan pangombyong pusaka tersebut dibagi sesuai dengan jumlah pusaka yang telah dijamasi (pusaka yang telah dicuci atau disucikan). Semisal jenis pusaka yang dijamasi ada 6, maka jumlah pangombyong pusaka juga ada 6. Barisan tersebut menunggu perintah atau titah dari raja untuk berjalan memulai acara arak-arakan, biasanya barisan tersebut mulai berjalan pada saat jam 12 malam tepat. Untuk rute nya sendiri melintasi jalur sejauh 7 Km, yaitu melewati rute dari Keraton Kasunanan Surakarta - Jalan Supit Urang - Jalan Pakoe Boewono - Jalan Jendral Sudirman - Jalan Mayor Kusmanto - Jalan Kapten Mulyadi - Jalan Veteran - Jalan Yos Sudarso - Jalan Brigjend Slamet Riyadi - lalu melewati Jalan Pakoe Boewono - dan berhenti lagi di Keraton Kasunanan Surakarta. Pada saat prosesi kirab atau arak-arakan, peserta diharuskan untuk topo bisu (puasa berbicara). Tujuannya adalah untuk merenungkan perbuatan mereka dan introspeksi diri. Untuk menghormati peserta arak-arakan tersebut, masyarakat yang ikut hadir juga turut hening dan tidak bersuara.
Selama perjalanan kirab, ada kebiasaan unik yang dilakukan masyarakat sekitar. Mereka banyak yang melakukan ngalap berkah atau mencari berkah dengan rebutan kotoran Kebo Bule yang berjatuhan, karena mereka meyakini bahwa Kebo Bule merupakan hewan yang istimewa dan mendatangkan keberkahan. Tidak hanya kotoran Kebo Bule, mereka bahkan berebut menyan pusaka, bunga yang berjatuhan dari kalung Kebo Bule, sesajen, sisa makanan seperti pisang, tembakau, dan sisa air bekas kirab pusaka. Warga setempat sangat berantusias dalam memeriahkan dan mengikuti perayaan ini dengan khidmat.
Banyak pro dan kontra terhadap peristiwa ngalap berkah ini bagi sebagian masyarakat. Mereka yang kontra terhadap peristiwa ini, menganggap bahwa kegiatan ngalap berkah itu tidak relevan dengan ajaran yang telah diajarkan di agama Islam itu sendiri. Namun, sikap toleransi perlu kita kembangkan untuk melestarikan tradisi kebudayaan agar eksistensi budaya keraton tetap dikenal oleh masyarakat luar. Untuk menguatkan agar eksistensi tradisi ini tetap berjalan di tengah perkembangan dunia, perlu kesadaran dari masyarakat itu sendiri untuk menjaga tradisi. Tanpa partisipasi masyarakat tentu rencana itu tidak akan berjalan dengan baik.
“Jangan jadi Wong Jowo Sing ilang Jowone. Terutama anak zaman sekarang ya, jangan sampai jati diri nya sebagai orang Jawa hilang. Orang Jawa yang terkenal dengan uggah-ungguhnya, paham budaya nya, dan paham bahasa nya. Karena kalau sudah paham ‘Jowone’, pasti bakal paham sejarah, budaya, tradisi, dan unggah-ungguh. Karena Jawa tidak hanya pulau, tetapi kehidupan itu sendiri” (Ika Rizki Hapsari, wawancara pada 28 November 2022, melalui Direct Message Twitter).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H