Mohon tunggu...
Chesya Aletta
Chesya Aletta Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswa Akuntansi Universitas Pembangunan Jaya

Saya menyukai musik dengan genre indie

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Jangan Menjadi Toxic Positivity

20 Desember 2023   09:59 Diperbarui: 20 Desember 2023   10:22 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Toxic Positivity. Pinterest : Katie Couric // @pinterest.com

"Jangan menyerah, ini belum seberapa dibandingkan dengan apa yang aku rasakan."

Pernahkah kalian mendapatkan tanggapan seperti itu setelah kamu menceritakan keluh kesah kepada temanmu saat sedang disituasi buruk dan membutuhkan dukungan darinya? Jika kalian pernah mengalaminya, mungkin kita akan merasa kecewa saat menerima tanggapan seperti itu karena terkesan seperti disepelekan. Toxic Positivity  memiliki arti kondisi ketika seseorang menuntut dirinya sendiri atau orang lain untuk selalu berpikir dan bersikap positif serta menolak emosi negatif. Melihat suatu hal dengan positif memang baik, hal ini justru dapat berdampak buruk bagi kesehatan mental, lho (Alodokter, 2021).

Seorang mahasiswa bernama Aphrodhitte D.M  berasal dari Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jakarta yang saat ini masih menginjak semester 1 sempat merasakan fase toxic positivity. Berdasarkan pengalaman pribadinya saat merasakan fase toxic positivity, awalnya terasa seperti upaya untuk melihat segala sesuatu dari sudut pandang positif secara berlebihan. Dia merasa terdorong untuk menyembunyikan perasaan negatif atau frustrasi yang dialaminya, karena adanya tekanan dari temannya untuk "selalu bersikap positif." Ini membuat dirinya merasa terisolasi dari kemampuan untuk berbicara tentang perasaan yang sebenarnya. Saat mendapatkan respons yang kurang dari temannya, seperti ketidakpahaman atau penolakan atas kebutuhan untuk mengungkapkan rasa sakit atau kekecewaan, dia merasa lebih terpinggirkan dan kesepian. Setelah mengetahui apa yang di alami oleh Aphrodhitte saya menyadari satu hal, yaitu mungkin saja temannya berniat ingin memberi motivasi dengan memerintah atau memintanya untuk selalu berpikir positif, padahal Aphrodhitte hanya membutuhkan ruang untuk berkeluh kesah dan dukungan untuk mengembalikan semangatnya tetapi yang dia dapatkan adalah tanggapan yang terdengar menyepelekan.

Kita harus mulai menyadari dan ingat jangan sampai menjadi salah satu orang yang toxic positivity, karena tindakan tersebut rupanya memiliki dampak yang buruk untuk kesehatan mental, lho! Dampak ini tidak hanya berlaku untuk seseorang yang menerimanya saja, ternyata dampaknya juga berlaku pada orang yang melakukannya. Bagaimana sih dampaknya? Menurut Dr. Anna Elissa, Sp.Kj sebagai Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa (Psikiater) dalam artikel yang berjudul "Hindari Toxic Positivity Agar Kesehatan Mental Tetap Terjaga" di website emc, menyatakan dampak yang terjadi pada orang yang melakukan toxic positivity akan makin sulit untuk berempati dengan sesama, dan akan mengalami kesulitan dalam memberikan pemecahan masalah yang tepat. Sedangkan untuk seseorang yang menerimanya memiliki dampak berupa mudah insecure, dan tidak memiliki siapa pun yang mau memahaminya. Jika menurut tim medis siloam hospitals dampak dari hal tersebut adalah berupa emosi yang tidak diluapkan dan menumpuk karena perilaku toxic positivity akan memicu terjadinya gangguan mental, seperti anxiety disorder atau bisa dikenal sebagai gangguan kecemasan, hingga post traumatic disorder (PTSD) atau gangguan stres pascatrauma. Wah, ternyata mengerikan juga ya dampak negatif yang didapatkannya.

Coba kalian bayangkan, jika makin banyaknya seseorang yang melakukan toxic positivity mungkin akan semakin minim rasa dan jiwa empati yang dimilikinya. Sehingga akan makin banyak memakan korban yang dapat merusak kesehatan mentalnya. Memang kita tidak bisa memukul rata semua situasi yang sedang dialami oleh orang lain maupun diri kita sendiri dengan selalu menerapkan pikiran positif, tetapi kita dapat menghindarinya agar tidak memberi respons yang terkesan menyepelekan.

Marilah kita bersama-sama menjauhi toxic positivity! Ayo mulai lebih berempati kepada teman dan rekan yang lainnya. Ditinjau secara medis oleh Rachel Goldman, Phd, FTOS dalam artikel yang berjudul "Toxic Positivity Mengapa Berbahaya dan Apa yang Sebaiknya Dikatakan" di verrywellmind, adapun cara untuk menghindari hal tersebut, yaitu kembangkan sikap bahwa "tidak apa-apa jika tidak baik-baik saja", dan fokus pada mendengarkan orang lain dan menunjukkan dukungan saat seseorang mengungkapkan emosi yang sulit, jangan menutupinya dengan sikap toxic positivity.

Tanggapan dan dukungan yang positif saat dititik terendah memang diperlukan untuk membangkitkan rasa semangat saat merasa putus asa. Sebenarnya tidak ada larangan juga untuk memiliki pemikiran positif, tetapi kembali lagi jangan sampai menjadi orang yang toxic positivity dengan memberikan respons yang menyepelekan atau membandingkan keadaan buruk seseorang dengan keadaan diri sendiri yang dianggap lebih buruk. Lebih baik sebenarnya adalah mendengarkan dengan empati dan pengertian tanpa terburu-buru untuk memberikan solusi atau memaksa untuk mengalihkan segala sesuatu ke dalam hal yang "positif." Respons yang lebih baik adalah memberikan ruang untuk menyatakan perasaan yang sebenarnya tanpa dikecam, sehingga seseorang merasa didengar dan diterima dengan segenap aspek kemanusiannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun