: Baruklinting
Langkah kecilmu mengiris padang berbatu. Menampak langit timur merah kelabu. Mengalun lirih maskumambang mengusik tiduranak-anak bajang dan kemamang. Gemerincing giring-giring di kaki mengiring terbang bidadari. Tetes darah dan leleh nanah menguapkan anyir dosa. Kutuk pastu atas karma manusia.
Duh, siapakah yang telah mengganggu tapamu? Setia tubuhnagamu membelit Gunung Merapi, menyelimuti puncak hingga jurang dan lereng. Melata di antara akar-akar belukar, membuat gentar binatang-binatang liar. Namun mereka telah menemukan tubuhnagamu, mencabiknya, lalu membawa pulang dengan sorak kemenangan. Dan di lembah itu mereka menggelar pesta. Ke sanalah kini kau berjalan dengan tubuhbocahmu. Melaksanakan darma.
Dan pesta begitu hingar. Gamelan bertalu mengalunkan nada riang. Berbondong warudoyong dan singabarong. Berjingkrakan pecangakan dan bekakrakan. Canda tawa dan sumpah-serapah memenuhi padang terbuka. Aroma tuak dan candu, mengambang bau daging panggang. Berlimpah madu dan susu, namun itu bukan pestamu. Itu bukan pestamu! Mereka tak mau tahu lapar dahagamu, sebab amis tubuhbocahmu membuat pesta terganggu.
Inilah negeri orang-orang bebal. Negeri para pelacur dan berandal. Surga bagi maling dan pembohong. Negeri ini bukan tanpa sabda, tapi kesesatan pikir dan watak angkara telah bersimaharajalela. Lihatlah tarian mereka makin tak menentu. Saling tendang saling sikut saling serang saling pagut. Maka, laksanakan tugasmu, wahai Ksatria Buruk Rupa. Dewa-dewa merestuimu dengan panah air mata.
Sebatang lidi jantan, ditanamkan Baruklinting di tanah merah merona. Ditantangnya mereka untuk mencabutnya. Namun tak ada yang mampu melakukannya. Dari sebatang lidi yang kautanam, semburat mata air jiwa akan terpancar. Mata air yang akan menjelma menjadi air bah. Dan air bah itu telah menelan negeri ini menjadi telaga.
Lalu, pulanglah ke haribaan Gunung Merapi. Tubuhnagamu akan kembali membelit bumi, melindunginya dari tangan-tangan tirani. Biarlah sesekali tubuhmu beringsut. Menggempakan bumi. Dan angin mengulum batang-batang dewandaru.
Tapi sebatang lidi saja tak cukup. Dari kedalaman telaga muncul butir-butir api. Dalam tatap dendam Btari Durga, iring-iringan banaspati dan gendarwa menuju bibir telaga. Ditingkah sorak thongthongsot dan dadhungwinong, mereka membangun menara-menara api. Di sanalah mereka kawin dan melahirkan bayi-bayi berlidah api, yang akan tumbuh menjadi sepasukan serigala berhati api.
O, negeri yang carut-marut, sebatang lidi saja tak cukup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H