Mohon tunggu...
Che Susanto
Che Susanto Mohon Tunggu... pegawai negeri -

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” (Pramoedya Ananta Toer)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sebatang Lidi Saja Tak Cukup

3 Desember 2011   02:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:54 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

: Baruklinting

Langkah kecilmu mengiris padang berbatu. Menampak langit timur merah kelabu. Mengalun lirih maskumambang mengusik tiduranak-anak bajang dan kemamang. Gemerincing giring-giring di kaki mengiring terbang bidadari. Tetes darah dan leleh nanah menguapkan anyir dosa. Kutuk pastu atas karma manusia.

Duh, siapakah yang telah mengganggu tapamu? Setia tubuhnagamu membelit Gunung Merapi, menyelimuti puncak hingga jurang dan lereng. Melata di antara akar-akar belukar, membuat gentar binatang-binatang liar. Namun mereka telah menemukan tubuhnagamu, mencabiknya, lalu membawa pulang dengan sorak kemenangan. Dan di lembah itu mereka menggelar pesta. Ke sanalah kini kau berjalan dengan tubuhbocahmu. Melaksanakan darma.

Dan pesta begitu hingar. Gamelan bertalu mengalunkan nada riang. Berbondong warudoyong dan singabarong. Berjingkrakan pecangakan dan bekakrakan. Canda tawa dan sumpah-serapah memenuhi padang terbuka. Aroma tuak dan candu, mengambang bau daging panggang. Berlimpah madu dan susu, namun itu bukan pestamu. Itu bukan pestamu! Mereka tak mau tahu lapar dahagamu, sebab amis tubuhbocahmu membuat pesta terganggu.

Inilah negeri orang-orang bebal. Negeri para pelacur dan berandal. Surga bagi maling dan pembohong. Negeri ini bukan tanpa sabda, tapi kesesatan pikir dan watak angkara telah bersimaharajalela. Lihatlah tarian mereka makin tak menentu. Saling tendang saling sikut saling serang saling pagut. Maka, laksanakan tugasmu, wahai Ksatria Buruk Rupa. Dewa-dewa merestuimu dengan panah air mata.

Sebatang lidi jantan, ditanamkan Baruklinting di tanah merah merona. Ditantangnya mereka untuk mencabutnya. Namun tak ada yang mampu melakukannya. Dari sebatang lidi yang kautanam, semburat mata air jiwa akan terpancar. Mata air yang akan menjelma menjadi air bah. Dan air bah itu telah menelan negeri ini menjadi telaga.

Lalu, pulanglah ke haribaan Gunung Merapi. Tubuhnagamu akan kembali membelit bumi, melindunginya dari tangan-tangan tirani. Biarlah sesekali tubuhmu beringsut. Menggempakan bumi. Dan angin mengulum batang-batang dewandaru.

Tapi sebatang lidi saja tak cukup. Dari kedalaman telaga muncul butir-butir api. Dalam tatap dendam Btari Durga, iring-iringan banaspati dan gendarwa menuju bibir telaga. Ditingkah sorak thongthongsot dan dadhungwinong, mereka membangun menara-menara api. Di sanalah mereka kawin dan melahirkan bayi-bayi berlidah api, yang akan tumbuh menjadi sepasukan serigala berhati api.

O, negeri yang carut-marut, sebatang lidi saja tak cukup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun