Surabaya, 11 Desember 2024 -- Generasi Z, yang mencakup 22,85% dari total pemilih di Pemilu 2024 menurut Komisi Pemilihan Umum (KPU), kini menjadi sorotan dalam dinamika politik Indonesia. Sebagai generasi yang tumbuh dengan teknologi, media sosial menjadi ruang utama mereka untuk berkomunikasi, memahami isu-isu sosial, dan menyuarakan pandangan politik. Namun, di balik optimisme tentang peran mereka dalam menggerakkan perubahan, muncul kekhawatiran tentang tantangan literasi digital yang dapat menghambat efektivitas partisipasi politik mereka.
Menurut laporan terbaru We Are Social, platform seperti WhatsApp (90,9%), Instagram (85,3%), dan Facebook (81,6%) mendominasi penggunaan media sosial di Indonesia. Generasi Z memanfaatkan platform ini untuk berbagi informasi dan membangun gerakan sosial. Contohnya adalah aksi kolektif menentang Undang-Undang Cipta Kerja, yang banyak diprakarsai oleh pengguna muda di dunia maya. Namun, alih-alih hanya menjadi saluran informasi, media sosial sering kali berperan sebagai pedang bermata dua.
"Bubble Filter" dan Misinformasi
Tantangan utama bagi Generasi Z adalah tingginya potensi misinformasi di media sosial. Algoritma platform sering kali menciptakan "bubble filter" yang mempersempit pandangan pengguna pada opini atau informasi yang sesuai dengan keyakinan mereka. "Kita melihat banyak anak muda yang mendapatkan informasi yang bias karena algoritma ini," ujar Dian Kusuma, seorang peneliti komunikasi digital. "Ini berpotensi mempersempit pemahaman mereka terhadap isu politik yang kompleks."
Misinformasi ini semakin diperparah oleh rendahnya tingkat literasi digital di Indonesia. Sebuah studi menunjukkan bahwa tidak semua pengguna mampu membedakan informasi kredibel dengan hoaks. Dalam konteks Pemilu 2024, tantangan ini menjadi krusial karena keputusan politik dapat dipengaruhi oleh informasi yang tidak valid.
Kesadaran Akan Literasi Digital
Meski demikian, ada tanda-tanda positif. Komunitas digital seperti "Youth for Media Literacy" mulai muncul untuk mengedukasi Generasi Z tentang cara mengenali hoaks dan melakukan verifikasi informasi. "Kami mengajarkan mereka untuk berpikir kritis dan memahami sumber informasi yang mereka konsumsi," kata Ardi Pratama, pendiri komunitas tersebut.
Selain itu, Generasi Z juga menunjukkan kemampuan adaptasi yang tinggi. Data We Are Social menunjukkan bahwa 83,1% pengguna internet di Indonesia menggunakan media sosial untuk mencari informasi, sedangkan 70,6% lainnya memanfaatkan platform ini untuk mencari inspirasi, termasuk dalam isu-isu politik. Namun, inspirasi ini harus dibarengi dengan pemahaman yang lebih mendalam agar tidak menjadi sekadar "slacktivism" --- istilah untuk aktivisme yang hanya sebatas unggahan media sosial tanpa tindakan nyata.
Jaringan Politik Baru di Era Digital
Meski menghadapi tantangan, media sosial tetap memberikan peluang besar bagi Generasi Z. Sebanyak 41,1% dari mereka menggunakan internet untuk membangun jaringan sosial. Ini menciptakan koneksi lintas wilayah, bahkan global, untuk mendukung gerakan yang lebih inklusif. Contohnya adalah gerakan Pandawara Group, yang mengangkat isu lingkungan melalui media sosial dan berhasil memobilisasi ribuan sukarelawan muda.
Keberhasilan ini menunjukkan bahwa media sosial bukan hanya alat konsumsi informasi, tetapi juga ruang untuk menciptakan perubahan nyata. "Media sosial memberi kami suara yang tidak bisa diabaikan," kata Aulia, seorang mahasiswa yang aktif dalam kampanye digital terkait hak asasi manusia.