Pada tahun 2020, dunia diserang oleh pandemi global yang mengubah banyak aspek kehidupan manusia, termasuk perekonomian global. Pandemi COVID-19 tidak hanya mempengaruhi kesehatan masyarakat tetapi juga memberikan dampak yang signifikan terhadap pasar keuangan, termasuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Indonesia.
Sebagai salah satu indikator utama kesehatan pasar keuangan Indonesia, IHSG adalah cerminan dari kinerja saham-saham terkemuka di Bursa Efek Indonesia (BEI). Sebelum pandemi, IHSG menunjukkan tren yang cukup stabil dengan pertumbuhan yang konsisten. Namun, pasca Covid ternyata IHSG mengalami pertumbuhan yang signifikan jika dibandingan dengan IHSG sebelum Covid. Walaupun tidak selalu naik, tapi IHSG 2022 masih terus mengungguli IHSG 2018. Ini menunjukkan bahwa pasar saham di Indonesia secara perlahan mulai menunjukkan recovery pasca pandemi.
Jika dilihat dari data di atas, rata-rata nilai IHSG tahun 2018 adalah sebesar 6098,58 sedangkan rata-rata IHSG tahun 2022 adalah 7006,80 yang mana ini menunjukkan kenaikan pertumbuhan sebesar 14,89%. Nilai rata-rata IHSG memberikan gambaran tentang tren umum atau arah pergerakan harga saham dalam suatu periode waktu tertentu. Peningkatan nilai rata-rata IHSG menandakan bahwa mayoritas saham-saham mengalami kenaikan harga dan menunjukkan adanya peluang bagi investor untuk mendapatkan keuntungan dari investasi mereka. Naiknya nilai rata-rata IHSG bisa mencerminkan sentimen positif di pasar saham, baik itu karena kinerja perusahaan yang lebih baik, ekspektasi pertumbuhan ekonomi, atau faktor-faktor lain yang mendukung kenaikan harga saham. Peningkatan nilai rata-rata IHSG juga bisa dianggap sebagai indikasi bahwa pasar saham memproyeksikan pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat atau potensi pertumbuhan yang lebih baik bagi perusahaan yang terdaftar di dalam indeks.
Selain itu, berdasarkan perhitungan data di atas, standar deviasi IHSG 2022 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan standar deviasi IHSG tahun 2018. Standar deviasi IHSG tahun 2022 adalah sebesar 167,920139, lebih kecil jika dibandingkan dengan standar deviasi 2018 yaitu sebesar 262,403148. Standar deviasi adalah salah satu ukuran statistik yang digunakan untuk mengukur seberapa jauh data tersebar dari nilai rata-ratanya. Penurunan standar deviasi IHSG pada suatu periode menunjukkan bahwa fluktuasi atau variasi harga saham dalam Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) cenderung lebih rendah dari sebelumnya. Standar deviasi yang menurun menandakan bahwa harga saham dalam indeks tersebut memiliki fluktuasi yang lebih kecil dari nilai rata-rata atau trennya. Hal ini menunjukkan adanya stabilitas atau kurangnya perubahan yang besar dari nilai rata-rata IHSG dalam periode tersebut. Penurunan standar deviasi dapat menunjukkan bahwa pasar saham cenderung lebih stabil dalam periode tersebut, sehingga risiko investasi (sebagaimana diukur melalui fluktuasi harga saham) cenderung lebih rendah. Standar deviasi yang menurun juga dapat menandakan bahwa pergerakan harga saham menjadi lebih teratur atau lebih mudah diprediksi dalam periode tersebut, karena fluktuasi harga yang lebih kecil.
Perbandingan Kondisi Makroekonomi yang Mempengaruhi IHSG Sebelum dan Sesudah COVID-19
- Pertumbuhan Ekonomi
Sebelum pandemi, ekonomi Indonesia tahun 2018 tumbuh 5,17%. Dari sisi pengeluaran, perekonomian Indonesia didominasi oleh konsumsi rumah tangga, yang mencakup lebih dari separuh PDB Indonesia, yaitu sebesar 55,74%. Sedangkan pada 2022, perekonomian Indonesia tumbuh solid di angka 5,31%. Sepanjang 2022, pertumbuhan ekonomi tumbuh di atas 5% pada tiap triwulannya. Stabilitas konsumsi masyarakat didukung oleh efektivitas kebijakan penanganan pandemi Covid-19 dan inflasi yang terkendali. Hal ini meningkatkan kepercayaan investor terhadap prospek perusahaan-perusahaan yang terdaftar di pasar saham dan dapat mendorong mereka untuk berinvestasi lebih banyak, yang mana dapat meningkatkan permintaan saham dan mengangkat nilai IHSG.
- Kebijakan Moneter
Bank Indonesia pada November 2018 memutuskan untuk menaikkan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 6,00%, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 5,25%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 6,75%. Keputusan tersebut sebagai langkah lanjutan Bank Indonesia untuk memperkuat upaya menurunkan defisit transaksi berjalan ke dalam batas yang aman. Kenaikan suku bunga kebijakan tersebut juga untuk memperkuat daya tarik aset keuangan domestik dengan mengantisipasi kenaikan suku bunga global dalam beberapa bulan ke depan.
Sedangkan pada Desember 2022, BI memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 5,50%, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 4,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 6,25%. Keputusan kenaikan suku bunga yang lebih terukur tersebut sebagai langkah lanjutan untuk secara front loaded, pre-emptive, dan forward looking memastikan terus berlanjutnya penurunan ekspektasi inflasi dan inflasi sehingga inflasi inti tetap terjaga dalam kisaran 3,01%. Kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah terus diperkuat untuk mengendalikan inflasi barang impor (imported inflation) di samping untuk memitigasi dampak rambatan dari masih kuatnya dolar AS dan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H