Tentunya suasana adem, sejuk, di mana rerumputan hijau tertata rapih, disertai hembusan semilir angin segar sudah jarang ditemukan di Ibukota. Penduduk metropolis sudah terbiasa dengan makanan-makanan cepat saji yang banyak terdapat di seluruh Mal kota Jakarta, hal tersebut telah menjadi keseragaman acara makan sebagian besar warga metropolitan, dan hal ini mungkin lambat laun akan menjadi kegiatan yang membosankan bagi mereka.Â
Apa jadinya ketika menemukan titik jenuh seperti itu? Pergi ke luar kota menjadi salah satu solusinya, dan sudah pasti memakan waktu serta biaya yang tidak sedikit, bukan? Di pertengahan Maret lalu, dari salah satu sudut Selatan Jakarta hadir sebuah Resto pengobat rasa rindu bagi mereka pecinta sajian khas Jawa Barat, atau lebih dikenal sebagai masakan Sunda.Â
Ya, Resto Manglayang Sunda Cuisine muncul dengan rasa otentik babad tanah Padjajaran. Di mana mereka akan memanjakan lidah kita dengan paru, ayam goreng Honje, sop ikan Gurame, Gurame bakar, nasi liwet, ditemani minuman serasi seperti Kopyor dan pelbagai aneka jus segar, yang tentunya menggunakan bahan-bahan fresh from the oven juga.Â
![Dokumentasi pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/04/23/nasi-liwet-jpg-5cbf25d63ba7f7755450e612.jpg?t=o&v=770)
Dengan sigap dan cukup kalap, bersama beberapa teman kerja, tak lupa saya membawa juga dua orang sepupu turut serta untuk perjalanan kulinari terbaru ini, saya memesan menu standar rumah makan Sunda dulu, seperti Liwet, ayam goreng, tumis tauge, dan teh hangat.Â
Tak lupa, kupesan juga sambal dadak-nya, di mana dalam keadaan lapar hal ini tentunya membuat nafsu perut seperti semakin membara, karena dalam hitungan tak lebih dari lima belas menit, padu padan nasi liwet, ayam goreng honje yang dicoel ke sambal dadak-nya, seperti membuat saya berada di tepian pemukiman masyarakat Sunda yang sedang bersantap bersama menikmati keadigungan rasa maksimal dari hidangan Manglayang. Enak banget!Â
Gila, ini bikin kami sungguh ketagihan. Beneran banget, nasi liwetnya terasa tidak berlebihan, gurihnya menyenangkan hingga ke perut, ditambah ragutan dari daging ayam kampung yang kami santap terasa begitu lembut di lidah, sehingga membuat kami kelupaan untuk memesan salah satu faktor penting saat bersantap Sunda, apa itu? Ya, lalapan saudara-saudari! Hahaha.Â
Leunca, terong hijau, dan daun Sintrong menjadi penyerta yang begitu memegang peranan penting dalam kegiatan makan-makan kami hari itu.
![Dokumentasi pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/04/23/tumis-taoge-mix-jpg-5cbf28cccc52834b6d027363.jpg?t=o&v=770)
Tak lama kemudian salah satu sepupuku ingin mencoba Jambal. Say what? Ya, Jambal adalah menu wajib yang sudah cukup sukar ditemukan di restoran. Dan, kami sangat senang sekali menemukan sajian ikan jenis ini, yang mana Manglayang menawarkannya dalam kemasan lain, yaitu tulang Jambal. Hore! Hidup Jambal!Â
Ini adalah rasa fenomenal yang sudah sekian lama tidak berlalu lalang di perut saya, dan menjadi kelangkaaan yang menyebalkan, sehingga saat menemukannya, saya seperti menemukan harta karun yang tak ternilai harganya. Ibarat dikasih lukisan Monalisa yang asli oleh kolektor yang kita sama sekali tak mengenalnya. Hihihi.