Hampir seumur hidup saya habiskan di Palembang, di tempat ini saya lahir, besar, diberi makan oleh ibu, bahkan akhirnya mencari makan ya disini juga. Saya pernah tinggal di Jakarta, tapi akhirnya balik lagi ke Palembang. Balik lagi, karena merindui pempeknya, amperanya, juga orang-orangnya hehehe.
Jika berkunjung ke Palembang, akan sulit menemukan orang yang berbicara dengan bahasa Indonesia. Bagi masyarakat Palembang, orang yang berbicara dengan bahasa Indonesia di muka umum dalam kondisi tidak resmi dianggap “ sok kota” ,“ sok Jakarta”, dan bahasa gaul di Palembang itu sendiri “ mak ketako’an”. Bukannya ini berarti bahwa rakyat palembang tidak punya jiwa nasionalisme, bukan. Tapi mungkin pempek dan cuka telah mempengaruhi cara kami berbicara, mulai dari pengejaan huruf R yang bederot” alias R yang nyangkut ditenggorokan. Itulah bukti pembeda orang palembang dengan suku lain. Lama –kelamaan para pendatang yang awal mula menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi akhirnya pun ketularan “ bebaso”.
Berbicara dengan bahasa Palembang, bagi masyarakatnya tersa lebih akrab, kekeluargaan lebih terjalin. Sering dalam tayangan televisi, saat warga Palembang diwawancarai menggunakan bahasa Indonesia, mereka malah kesulitan ngomong, bingung mentransfer ke bahasa Indonesia sementara apa yang mau diomongkan di dalam kepala sudah terset dalam bahasa Palembang, kadang kalau saya perhatikan akhirnya mereka keceplosan tak tahan tidak mengeluarkan sepatah dua bahasa kerajaaanya masing-masing.
Begitulah, kalau saat warganya merantau, dan diperantauan bertemu dengan saudara sekampung, langsung komunikasi yang terjalin terjadi dalam bahasa Palembang. Tak peduli ada dimana, pokoknya, kalau belum pake bahasa Palembang, tidak akan terasa akrab, walaupun baru pertama kali bertemu. Sudah pasti mereka bakal ngobrol dengan bahasa palembang itu.
Kalau ada orang dari luar palembang, lalu datang, dan kemudian menyapa menggunakan bahasa Palembang, maka kami akan sangat senang sekali, tak peduli orang itu cuma bisa bicara “nak kemano” atau “nak ngapo” atau malah “ cuko dak becuko tenga duo”. Biasanya hal ini terjadi saat ada artis datang, atau juga pembicara dari luar daerah yang langsung di sambut dengan antusias penontonnya.
Walaupun orang Palembang terkenal keras suaranya tapi tidak semua keras hatinya, buktinya saya, hehehe, maklum saja, zaman dahulu saat palembang masih sepi rumah masyarakatnya yang berbentuk rumah panggung letaknya berjauhan dengan rumah lainnya. Kalau ingin berkomunikasi, biasanya dilakukan dengan suara keras biar lawan bicara bisa mendengarkan suara kita, dan hal itu rupanya terus berlangsung sampai sekarang. Kalau bicara, orang palembang seperti mau marah, apalagi pas marah beneran,dong, bisa kabur semua, hehehe.
nb: gambar dari gugel
Salam WONG KITO GALO!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H