Sherlock Holmes, agaknya, adalah tokoh fiksi yang familiar bagi banyak orang. Lahir dari imajinasi Sir Arthur Conan Doyle, Sherlock Holmes menyebut dirinya sebagai detektif konsultan (consulting detective) dengan kemampuan observasi dan analisisnya yang astronomikal. Begitu hebatnya kemampuan Holmes mendeduksi, ia berhasil menuntaskan kasus-kasus yang bunti di kepolisian. Dalam adaptasi oleh rumah produksi BBC, Sherlock Holmes digambarkan bisa menyerap informasi mengenai seseorang hanya dalam satu lemparan pandang.
Kemampuan Holmes untuk menangkap informasi implisit, mengobservasi, dan menganalisis sampai bisa memecahkan kasus bukannya tidak mungkin. Bahkan, 'kemampuan' itu memiliki nama yang memang secara nyata memecahkan banyak kasus. Ia hadir dengan nama kriminologi forensik.
Kriminologi forensik mendedikasikan dirinya untuk menyediakan informasi agar penemuan dalam penyidikan kasus kriminal dapat disebut beyond reasonable doubts; tidak ada lagi ruang bagi keraguan. Bukti-bukti yang ditemukan selama penyidikan berlangsung akan dibawa ke pengadilan dan keputusan hakim menentukan kelanjutan hidup seseorang (atau bahkan lebih). Oleh karena itu, semua bukti harus dikumpulkan dan dianalisis seakurat mungkin.
Holmes memiliki situs web yang bertajuk 'The Science of Deduction'. Ini bagaikan pembelaan darinya yang minim bicara namun kerap dituduh berbuat 'curang' dalam mendeduksi informasi. Dalam berbagai adaptasi kisah Sherlock Holmes, kita pasti dibawanya untuk memahami bahwa analisis yang ia lakukan bukanlah kongkalikong dengan sang pelaku atau korban demi menggemparkan publik, apalagi akibat kemampuan magis. Semua deduksi yang ia lakukan memiliki penjelasan ilmiah.
Walaupun hasil pencarian kriminologi forensik tidak mungkin dilakukan dalam hitungan menit seperti Holmes, namun ia jelas dapat dibuktikan secara ilmiah. Agar ilmunya dapat terfokus, kriminologi forensik terbagi lagi menjadi berbagai disiplin ilmiah. Mulai dari yang mungkin paling familiar dengan telinga kita seperti kriminologi forensik DNA atau bahkan yang benar-benar asing bagi orang awam sepeti serobiomolekuler forensik.
Dalam di akhir episode 1 season 2 Sherlock Holmes BBC yang berjudul 'A Scandal in Belgravia', Sherlock Holmes menyadari ia berada satu langkah dibanding Irene Adler, tokoh jenius lain yang baru diperkenalkan. Titik sadar itu diakui Sherlock ia temui saat menyentuh detak nadi di pergelangan tangan Adler yang kian cepat, disertai pupil Adler yang membesar saat bertatapan dengan Sherlock. Analisis ini bisa kita temukan di psikologi forensik yang salah satu tujuan utamanya untuk menilai kecakapan pelaku kejahatan dalam melakukan tindak kejahatannya.Â
Pada akhirnya, kemampuan Sherlock bukanlah sebuah karunia karakter fiksi semata. Kriminologi forensik telah hadir begitu lama dalam upaya mengentaskan kasus kejahatan. Dengan kriminologi forensik, kita dapat mengusahakan agar keadilan di muka hukum dapat benar-benar tercapai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H