Mohon tunggu...
Chepy Aprianto
Chepy Aprianto Mohon Tunggu... -

simple person, Talk Less do More !!!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Geneologi Madrasah di Nusantara “Arah Baru Pendidikan Akhlak Generasi Muda Indonesia”

21 November 2012   07:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:57 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Mukaddimah

Dewasa ini, dikhotomi Madrasah dan sekolah sudah mulai terkikis, kesadaranmasyarakat kita yang memandang Madrasah sebagai pendidikan “kelas dua” hampir tidak terlihat begitu tajam seperti era tahun 1990an. Walau masih sering kita temui Madrasah menjadi “batu loncatan” orang tua menyekolahkan anak – anaknya ketika sudah tidak diterima di Sekolah umum, madrasah dengan alasan biaya yang murah menjadi alternative orang tua menyekolahkan anak – anaknya.

Kata madrasah dalam bahasa Arab berarti tempat atau wahana untuk mengenyam proses pembelajaran. Dalam bahasa Indonesia madrasah disebut dengan sekolah yang berarti bangunan atau lembaga untuk belajar dan memberi pengajaran. Karenanya, istilah madrasah tidak hanya diartikan sekolah dalam arti sempit, tetapi juga bisa dimaknai rumah, istana, kuttab, perpustakaan, surau, masjid, dan lain-lain, bahkan seorang ibu juga bisa dikatakan madrasah pemula. sementara Karel A. steenbrik justru membedakan antara madrasah dan sekolah-sekolah, dia beralasan bahwa antara madrasah dan sekolah mempunyai ciri yang berbeda.

Tapi, pernahkah kita sadari, sesungguhnya madrasah memiliki system pendidikan yang unik yang tidak dapat ditemukan di tempat pendidikan yang lain. Pendidikan membebaskan yang digagas oleh Faulo Fiere dalam konsepnya memanusiakan manusia?ternyata madrasah sudah lebih dulu membicarakan hal tersebut jauh sebelum pendidikan modern muncul di dunia pendidikan saat ini.

Madrasah, tidak melahirkan generasi tawuran yang belakangan ini marak di media dan menjadi trend anak sekolah di kota – kota besar di Indonesia, justru madrasah adalah pendidikan yang menanamkan “Akhlak” sebagai pondasi utama sebelum belajar ilmu – ilmu yang lainnya.

Geneologi awal

Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang munculnya madrasah sebagai lembagapendidikan Islam yang kita kenal seperti sekarang ini. Hasan Ibrahim Hasan berpendapat bahwa, madrasah belum muncul sebelum abad IV Hijriyah (sebelum 10Masehi), menurutnya madrasah pertama adalah Madrasah al-Baihaqiyah di Naisabur.Al-Baihaqiyah yang didirikan di Naisapur oleh Abu Hasan ali al-Baihaqi (w. 414 H).Hasil penelitian seseorang peneliti Richard Bulliet pada tahun 1972,mengungkapkan bahwa selama dua abad sebelum madrasah Nidhamiyah di Baghdadsudah berdiri madrasah di Naisapur sebanyak 39 madrasah dengan madrasahnya yangtertua yaitu ´Miyan Dahiyaµ yang mengajarkan fiqh Maliki.

Demikian juga Naji Ma·ruf mengatakan, bahwa 165 tahun sebelum madrasah Nidhamiyah sudah ada madrasah di Maa waraa al-Nahri dan khurrasan. Sebagai bukti ia mengungkapkan data dari Tarikh al-Bukhari yang menjelaskan bahwa Ismail binAhmad (w. 295 H) mempunyai madarasah yang dikunjungi oleh para pelajar untuk melanjutkan pelajaran mereka. Madrasah Naisapur pada masa awal ini didirikan oleh seorang ulama fiqh dengan tujuan utama untuk mengembangkan ajaran mazhabnya.Pada umumnya madrasah tersebut mengajarkan satu mazhab fiqh saja dan sebagian besar bermazhab Syafi·i. Dari 39 madrasah yang dikemukakan oleh Bulliet, hanya satu madrasah yang mengajarkan fiqh Maliki, empat madrasah yang mengajarkan fiqh mazhab Hanafi, dan yang lainnya mengajarkan fiqh mazhab Syafi·i. Pendapat lain mengatakan bahwa madrasah muncul pertama kali di dunia Islam adalah madrasah al-Nizhamiyah, yang didirikan oleh Nizham al-Mulk, seorang penguasa dari Bani Saljuk (w. 485 H.) Ibnu Atsir menyebutkan bahwa Nizham al-Mulk seorang wazir sultan Maliksyah Bani Saljuk (465-485) mendirikan dua madrasah yang terkenal dengan nama madrasah al-Nizhamiyah di Baghdad dan di Naisapur,kemudian diberbagai wilayah yang dikuasainya

Geneologi madrasah di Indonesia

madrasah adalah saksi perjuangan pendidikan yang tak kenal henti. Pada jaman penjajahan Belanda madrasah didirikan untuk semua warga. Sejarah mencatat , Madrasah pertama kali berdiri di Sumatra, Madrasah Adabiyah ( 1908, dimotori Abdullah Ahmad), tahun 1910 berdiri madrasah Schoel di Batusangkar oleh Syaikh M. Taib Umar, kemudian M. Mahmud Yunus pada 1918 mendirikan Diniyah  Schoel sebagai lanjutan dari Madrasah schoel, Madrasah Tawalib didirikan Syeikh Abdul Karim Amrullah di Padang Panjang (1907). lalu, Madrasah Nurul Uman didirikan H.  Abdul Somad di Jambi.

Madrasah berkembang di jawa mulai 1912. ada model madrasah pesantren NU dalam bentuk Madrasah Awaliyah, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Mualimin Wustha, dan Muallimin  Ulya (mulai 1919), ada madrasah yang mengaprosiasi sistem pendidikan  belanda plus, seperti muhammadiyah ( 1912) yang mendirikan Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Muallimin, Mubalighin, dan Madrasah Diniyah. Ada juga model AL-Irsyad ( 1913) yang mendirikan Madrasah Tajhiziyah, Muallimin dan Tahassus, atau model Madrasah PUI di Jabar yang mengembangkan madrasah pertanian.

Dari jaman penjajahan, orde lama, orde baru, era reformasi sampai era SBY, nasib madrasah di Indonesia sangatlah memperihatinkan dan seolah-olah di anaktirikan oleh pemerintah, padahal ada banyak sekali elit politik yang duduk di kursi DPR/MPRdan lembaga kebijakan negara lainnya yang lahir dan berlatar belakang dari madrasah, lulusan madrasah tidak bisa di pandang sebelah mata atau juga di anggap remeh, justru lulusan-lulusan madrasah memiliki nilai lebih bukan saja karen faktor agama yang diperdalam tapi banyak faktor lainnya

M. Arsyad yang dikutip Khoirul Umam, munculnya madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam dikarenakan kekhawatiran terhadap pemerintah Hindia Belanda yang mendirikan sekolah-sekolah umum tanpa dimasukkan pelajaran dan pendidikan agama Islam. Pemerintah Kolonial menolak eksistensi pondok pesantren dalam sistem pendidikan yang hendak dikembangkan di Hindia Belanda. Kurikulum maupun metode pembelajaran keagamaan yang dikembangkan di pondok pesantren bagi pemerintah kolonial, tidak kompatibel dengan kebijakan politik etis dan modernisasi di Hindia Belanda. Di balik itu, pemerintah kolonial mencurigai peran penting pondok pesantren dalam mendorong gerakan-gerakan nasionalisme dan pro-kemerdekaan di Hindia Belanda.

Menyikapi kebijakan tersebut, tokoh-tokoh muslim di Indonesia akhirnya mendirikan dan mengembangkan madrasah di Indonesia didasarkan pada tiga kepentingan utama, yaitu: 1) penyesuaian dengan politik pendidikan pemerintah kolonial; 2) menjembatani perbedaan sistem pendidikan keagamaan dengan sistem pendidikan modern; 3) agenda modernisasi Islam itu sendiri.

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengantarkan pendidikan Islam ke dalam babak sejarah baru, yang antara lain ditandai dengan pengukuhan sistem pendidikan Islam sebagai pranata pendidikan nasional. Lembaga-lembaga pendidikan Islam kini memiliki peluang lebih besar untuk tumbuh dan berkembang serta meningkatkan kontribusinya dalam pembangunan pendidikan nasional. Di dalam Undang-Undang itu setiap kali disebutkan sekolah, misalnya pada jenjang pendidikan dasar yaitu sekolah dasar, selalu dikaitkan dengan madrasah ibtidaiyah, disebutkan sekolah menengah pertama dikaitkan dengan madrasah tsanawiyah, disebutkan sekolah menengah dikaitkan dengan madrasah aliyah, dan lembaga-lembaga pendidikan lain yang sederajat, begitu pula dengan lembaga pendidikan non formal.

Madrasah yang merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam, memiliki kiprah panjang dalam dunia pendidikan di Indonesia. Pendidikan madrasah merupakan bagian dari pendidikan nasional yang memiliki kontribusi tidak kecil dalam pembangunan pendidikan nasional atau kebijakan pendidikan nasional. Madrasah telah memberikan sumbangan yang sangat signifikan dalam proses pencerdasan masyarakat dan bangsa, khususnya dalam konteks perluasan akses dan pemerataan pendidikan. Dengan biaya yang relatif murah dan distribusi lembaga yang menjangkau daerah-daerah terpencil, madrasah membuka akses atau kesempatan yang lebih bagi masyarakat miskin dan marginal untuk mendapatkan pelayanan pendidikan. Walau demikian para penulis sejarah pendidikan Islam di Indonesia agaknya sepakat dalam menyebut beberapa madrasah pada periode pertumbuhan, khususnya di wilayah Sumatera dan Jawa. Mahmud Yunus memasukkan ke dalam madrasah kurun pertumbuhan ini antara lain Adabiah School (1909) dan Diniah School Labai al-Yunusi (1915) di Sumatera Barat, Madrasa Nahdlatul Ulama di Jawa Timur, Madrasah Muhammadiyah di Yogyakarta, Madrasah Tasywiq Thullab di Jawa Tengah, Madrasah Persatuan Umat Islam di Jawa Barat, Madrasah Jami’atul Khair di Jakarta, Madrasah Amiriah Islamiyah di Sulawesi dan Madrasah Assulthaniyah di Kalimantan.

Madrasah dan alternative pendidikan di Indonesia

Generasi tawuran, inilah yang melekat pada dunia pendidikan dewasa ini, maraknya siswa sekolah tawuran, mahasiswa anarkis, birokrasi yang korupsi dan berbagai problematika bangsa lainnya yang kian merosot dan jauh dari nilai – nilai kesantunan memberikan tandatanya besar terhadap system pendidikan di Indonesia. Indonesia yang mendapat predikat “negara gagal” kesalahan – kesalahan kini tertuju pada “pendidikan”. Pendidikan kini sudah tergerus oleh zaman, sudah termakan oleh kapitalisme pendidikan dan pendidikan sudah tidak bisa membendung lagi arus “Globalisasi” bahkan pendidikan tidak bisa diharapkan lagi dalam membentuk karakter bangsa.

Telikungan kapitalisme global telah memenjarakan semua sektor yang ada di Indonesia, melalui model gerakan yang telah dirancang dalam sistem Globalisasi, merubah frame dan cara pandang masyarakat yang ada didunia kedalam pandangan yang lebih bersifat praktis, serba instan dan bernilai plus – minus, atau untung dan rugi.

Fungsi Negara, yang seharusnya melindungi dan menjamin masyarakat untuk mendapatkan rasa aman untuk menjalankan keberlangsungan hidupnya yang sejalan dengan amanat UUD 1945 seyogyanya menjadi pijakan dalam menjalankan dan mengeluarkan kebijakan apapun yang diberlakukan kepada seluruh warga negaranya.

Namun, karena Negara tidak lepas dari hubungannya dengan Negara – Negara lain, ini membuka pintu – pintu baru menciptakan logika dan system keterhubungan luar negeri, sehingga muncul kategorisasi Negara – Negara, maka kita mengenal ada yang disebut dengan Negara dunia pertama dan Negara dunia ketiga atau dalam istilah familiar Negara maju, Negara berkembang dan Negara miskin atau Negara terbelakang.

Kategorisasi Negara tersebut dihitung dengan IPM (Indeks Pembangunan Manusia), IPM yang menekankan pada seberapa besar penghasilan seluruh warga negara, ini mendorong pemerintah “memaksa” warga negaranya untuk bisa bersaing dengan Negara – Negara lain yang ada di dunia. Hal inilah pada dekade berikutnya memunculkan “imperialism” gaya baru dimana masing – masing Negara ingin menguasai dan mempengaruhi satu sama lainnya demi “Gold, Glory dan Gospel” hingga pada akhirnya kita mengenal pertentangan dua kekuatan ideology besar, Kapitalism dan sosialism. dimana menurut Francise Fukuyama Kapitalisme yang memenangkan pertarungan ideologisasi tersebut dengan Globalisasi sebagai bukti kemenangan capitalism dari idelogi yang lain.

Modernisasi dan globalisasi dapat masuk ke kehidupan masyarakat melalui berbagai media, terutama media elektronik seperti internet. Karena dengan fasilitas inisemua orang dapat dengan bebas mengakses informasi dari berbagai belahan dunia. Pengetahuan dan kesadaran seseorang sangat menentukan sikapnya untuk menyaring informasi yang didapat. Apakah nantinya berdampak positif atau negatif terhadap dirinya, lingkungan, dan masyarakat. Untuk itu, diperlukan pemahaman agama yang baik sebagai dasar untuk menyaring informasi. Kurangnya filter dan selektivitas terhadap budaya asing yang masuk ke Indonesia, budaya tersebut dapat saja masuk pada masyarakat yang labil terhadap perubahan terutama remaja dan terjadilah penurunan etika dan moral pada masyarakat Indonesia.

Jika dilihat pada kenyataannya, efek dari modernisasi dan globalisasi lebihbanyak mengarah ke negatif. Kita dapat kehilangan budaya negara kita sendiri dan terbawa oleh budaya barat, jika masyarakat Indonesia sendiri tidak mempelajaripengetahuan tentang kebudayaan Indonesia dan tidak menjaga kebudayaan tersebut. Ada baiknya budaya barat yang kita serap disaring terlebih dahulu. Karena tidak semua budaya barat adalah baik. Jika kita terus menerima dan menyerap budaya asing yang tidak sesuai dengan karakter bangsa Indonesia, dapat terjadi penyimpangan etika dan moral bangsa Indonesia sendiri. Melalui penyimpangan etika dan moral tersebut, dapat tercipta pola kehidupan dan pergaulan yang menyimpang.

Melihat dari problematika diatas, harapan kini tertuju pada madrasah, madrasah yang tidak hanya menekankan kecerdasan intelektual peserta didiknya namun juga sangat menekankan pendidikan akhlak, diharapkan bisa menjadi alternative dan menjawab semua problematika “kesemrawutan” generasi muda Indonesia yang terpengaruh oleh modernisasi dan globalisasi yang tidak mencerminkan budaya bangsa Indonesia yang terkenal santun, murah senyum dan tanpa kekerasan.

Namun tentunya, semua penyelenggara bangsa ini, harus memberikan perhatian yang serius terhadap nasib madrasah terutama madrasah – madrasah swasta yang ada di Indonesia, karena berkat kehadiran mereka (madrasah swasta), masyarakat bawah Indonesia dapat merasakan pendidikan akhlak yang sesungguhnya dan berkat mereka,dapat melahirkan insan- insan cerdas cendikia berakhlakul karimah dari seluruh pelosok negeri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun