Mohon tunggu...
chelseaauliacahyono
chelseaauliacahyono Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

hobbyist yang entusias di bidang fenomena sosial

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

FOMO Labubu dan Sonny Angel, Icon Konsumerisme?

4 Januari 2025   23:25 Diperbarui: 5 Januari 2025   14:50 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Boneka Minifigure Labubu (https://aliexpress.ru/item/1005007399266199.html) 

Labubu - FOMO yang dimaknai sebagai Fear of Missing Out kerap kali dijadikan alasan atas perilaku konsumerisme demi tetap keep up dengan tren. FOMO mengacu pada sindrom untuk terus mengikuti tren demi terhindar dari rasa cemas apabila ketinggalan momen yang dinikmati orang lain. Keharusan untuk ikut merasakan momen tersebut turut divalidasi dengan istilah "ngasih makan followers" demi menormalisasi fenomena FOMO.

Adanya tren tersebut memicu timbulnya perasaan untuk harus memiliki sesuatu agar merasa diterima di lingkungannya. Contohnya adalah kecenderungan mengoleksi minifigures  yang seperti Sonny Angel dan Labubu. Bagi yang belum kenal dengan keduanya, Sonny Angel merupakan boneka mini produksi desainer Jepang bernama Toru Soeya dengan ciri khas bentuknya yang menyerupai bayi. Sedangkan labubu sendiri juga merupakan boneka mini dengan gigi yang bergerigi produksi dari desainer China bernama Kaising Lung. 

Popularitas Labubu dan Sonny Angel tidak lepas dari tren FOMO yang kerap kali dijadikan ikon untuk menunjukkan "selera estetik" di media sosial. Penggemarnya menganggap Labubu dan Sonny Angel sebagai collectible yang menggemaskan dan unik, sehingga mereka bersedia memburu koleksi edisi terbatas atau varian tertentu yang sulit didapat. Hal ini membuat mereka terus menerus berhasrat untuk menjadi kolektor, yakni dari kolektor pemula hingga pecinta fashion dan lifestyle. Minifigures ini pun menjadi semacam simbol yang memberikan kesan eksklusivitas, dan melalui unggahan di media sosial, pemiliknya dapat menampilkan "gaya hidup unik" atau status tertentu yang mungkin tidak mereka dapatkan di barang lain.

Jumlahnya yang disengaja agar nampak langka, seperti kolaborasi khusus atau seri yang hanya dijual di waktu tertentu membuat para penggemar semakin terdorong untuk "berburu" figur-figur ini sebelum kehabisan. Tindakan ini juga didorong oleh keinginan untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa mereka adalah bagian dari komunitas yang eksklusif.

Untuk memahami fenomena koleksi figur Sonny Angel dan Labubu sebagai simbol konsumerisme yang digerakkan oleh FOMO, penting untuk melihat konsep FOMO dalam konteks perilaku jual beli di era modern, terutama di era media sosial. Fear of Missing Out, atau FOMO, bukan lagi sekadar kondisi psikologis tetapi sudah menjadi pendorong utama konsumerisme di berbagai lapisan masyarakat. Orang-orang merasa terdorong untuk memiliki atau mengalami hal yang dianggap "tren" demi diterima atau mendapatkan validasi sosial melalui media sosial.

Menurut riset yang dilakukan Harvard Business Review, FOMO erat kaitannya dengan tekanan sosial di kalangan milenial dan generasi Z yang sangat terpengaruh oleh apa yang mereka lihat di media sosial. Akibatnya, terjadi peningkatan dalam hal perilaku konsumtif karena mereka merasa perlu memiliki apa yang sedang populer demi menghindari ketertinggalan dari suatu lingkaran sosial. Hal tersebut sebetulnya juga diperparah dengan adanya bullying dengan bersifat diskriminan apabila dalam suatu kelompok ada seseorang yang tidak memiliki keterlibatan yang aktif di dalamnya. Akibatnya, FOMO dapat memberikan tekanan psikologis dan finansial yang tidak sehat. Sebuah survei yang dilakukan oleh Bankrate menunjukkan bahwa lebih dari 39% generasi milenial mengakui telah melakukan pengeluaran yang di luar kemampuan mereka karena tekanan sosial dari media sosial. Angka tersebut menjadi penguat adanya argumen bahwa perasaan untuk "keep up" dengan tren memicu besarnya pengeluaran yang tidak perlu demi tetap diterima di lingkungannya. Fenomena tersebut juga terkadang melibatkan mereka yang memiliki keterbatasan finansial untuk terdorong membeli barang-barang yang dianggap bisa menaikkan status mereka di mata publik .

Lalu apakah yang membuat kedua boneka mini ini kerap menjadi sensasi dalam dunia fashion di Indonesia? 

Apabila menelisik Jurnal Manajemen dan Organisasi terbitan IPB University terkait kecenderungan konsumerisme oleh konsumen Indonesia, ditekankan bahwa tingkat kepo juga memiliki pengaruh terhadap tubuhnya sifat konsumerisme di Indonesia. Pasalnya, ketika seseorang memiliki rasa ingin tahu yang lebih besar, tentu orang tersebut akan berusaha untuk mencari sumber informasi yang jauh lebih luas dan mendalam. Hal tersebut kadang mengakibatkan willingnes to act something based on our findings akan meningkat. Kecenderungan untuk ingin memiliki sesuatu setelah menemukan hal yang menarik bagi kita adalah poin yang perlu digaris bawahi apabila ingin menelisik darimana perasaan konsumerisme berbasis FOMO itu terjadi. Pendapat tersebut juga berkorelasi dengan artikel yang menyatakan bahwa The dynamics of consumerism are primarily based on desires and projections (Lage, C., Lins, S., & Aquino, S., 2022). Maksud dari pernyataan tersebut juga memiliki arti yang kurang lebih sama dengan pendapat yang dikemukakan di dalam Jurnal Manajemen dan Organisasi IPB University terkait kecenderungan konsumerisme yang dipicu oleh nafsu ingin memiliki dan juga suatu proyeksi informasi tentang barang yang ingin dimiliki. 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hal yang memicu adanya konsumerisme Labubu dan Sonny Angel di Indonesia secara garis besar disebabkan oleh niat untuk memenuhi sesuatu keinginan, tingkat keingintahuan terhadap suatu objek yang diinginkan, serta upaya dan tindakan untuk merealisasikan keinginan. Tentunya ketiga poin terkait kecenderungan konsumerisme juga dibantu oleh adanya media sosial sebagai wadah persebaran informasi yang begitu masif.

Pemerintah bersama masyarakat perlu mengambil langkah kooperatif demi mengurangi dampak konsumtif akibat tren collectibles seperti Labubu dan Sonny Angel yang digerakkan oleh FOMO. Pertama, edukasi publik melalui kampanye yang mengajak masyarakat lebih bijak dalam mengikuti dan menggencarkan sebuah tren. Kedua, perlunya regulasi untuk iklan yang menggunakan teknik kelangkaan agar konsumen tidak merasa tertekan membeli produk yang terlihat terbatas. Ketiga, influencer perlu berkooperatif  dengan memberi tanda #sponsored atau #iklan, sehingga pengguna paham adanya unsur komersial. Terakhir, menyediakan alternatif hiburan kreatif dan edukatif seperti pameran seni atau kegiatan komunitas dapat menjadi pilihan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun