“Mengertilah dulu, aku sibuk. Terlalu banyak hal baru disini yang masih sulit ku cerna dengan baik.”
“Bukannya aku tidak ingin menghubungimu, tapi aku benar-benar tak punya waktu untukmu.”
“Maaf aku tak pernah membalas pesanmu, karena aku tak pernah menyentuh ponselku, mengertilah.”
Tidak ada nada marah dalam tiap kalimatnya, tapi mengapa hatiku seperti menciut mendengarnya, aku merasa dia perlahan melupakanku. Mengerti, mengerti, mengerti! Kenapa dia selalu menyuruhku untuk mengerti, bukankah aku juga punya hak untuk dimengerti? Apa aku terlalu berlebihan jika berharap dihubungi pacar sendiri di malam minggu, 30 menit dalam seminggu?
Pacarku Qadri, lelaki 22 tahun yang kini tengah melancong ke ibu kota, yah! Jakarta, disanalah dia sekarang, memenuhi tuntutan pekerjaanya. Baru 1 bulan dia di sana dan aku sudah hampir gila di sini, di Kota Makassar, tempat kami pertama kali berkenalan, ketika tangannya menjabat tanganku, ketika statusnya masih teman dunia mayaku yang hari itu mendadak menjadi nyata.
Aku mengenalnya 2 tahun lalu melalui sebuah situs jejaring sosial berwarna biru, tak ada yang menarik awalnya, aku hanya suka dengan namanya, sungguh hanya itu. Dia orang yang menyenangkan, membuatku mengenal banyak hal, membuatku tertawa di tengah malam buta, membuatku berusaha menahan kantukku kala subuh menyapa, saat dia masih saja berceloteh panjang lebar tentang insomnianya, membangunkan jam 4 dini hari hanya agar aku bisa belajar untuk ujian semester. Aku mulai merindukannya di awal bulan Februari, mencarinya di deretan daftar teman dunia mayaku, merasa ada sesuatu yang hilang jika dia tidak menyapaku, “Askum, ngapain ki?” dengan logat makassarnya, lalu aku sadar, tanpa aku rencanakan dia telah diam-diam masuk dalam cerita hidupku.
Kini, dia pacarku. Semua orang tau dia pacarku, tapi aku mulai merasa tidak mengenalnya, tak ada lagi pesan singkat darinya yang selalu mengantarku memulai hariku, tak ada lagi celotehan nakalnya yang dulu selalu ‘mengotori’ layar akun jejaring sosialku, dia sibuk, terlalu sibuk bahkan untuk sekedar menyapaku.
Dan hari ini, aku akan pergi dari Kota ini, semalam dia masih sulit dihubungi, pagi tadi dia juga tak bisa dihubungi, padahal ini hari sabtu, hari liburnya, tapi kenapa dia seolah tidak perduli? Hey sayang! Aku akan pergi, jarak ini akan semakin jauh lebih dari yang pernah kau bayangkan dan ini akan lama, yang aku pun tak tau sampai kapan itu, kita tidak akan bertemu, dan aku takut.
Aku mencoba bersabar, duduk di ruang keberangkatan sambil menatap layar ponsel yang tak bergeming, tak akan ada... mungkinkah tak akan ada kabarnya?? Aku bertanya dalam hati dan mencoba membesarkan hatiku, dia akan ada, mungkin bukan saat ini, mungkin 1 jam berikutnya, mungkin besok, mungkin minggu depan, atau bahkan mungkin bulan depan, aku yakin dia akan ada.
Tapi kemudian...
Ternyata dia tak pernah ada, tak pernah bisa lagi ku sentuh, dia menghilang seperti mimpi di siang bolong, seperti hujan di kala terik, menghilang tak berjejak. Mungkin dia telah menemukan seseorang yang lebih baik di sana, entahlah...
Dan mungkin, ah! Bukan mungkin, tapi harus. Yah! Aku harus merelakannya, aku tau kenangan bersamanya terlalu banyak, terlalu sulit dilupakan, tapi aku tak ingin melupakannya, aku akan menyimpannya, segala kenangan manis yang pernah ada, bahwa sungguh... dulu dia pernah benar-benar mencintaiku, sayangnya sekarang tidak lagi.
p.s: sebagian dari kisah ini hanya khayalan semata, hehe... ^^,
[Untuk kekasihku, Alqadri ^-^]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H