Beberapa bulan ini kita disuguhkan dengan berbagai berita tentang kekhawatiran akan tidak terwakilnya perempuan di parlemen , bahkan beberapa hari belakangan ini berita mengenai begitu kuatnya keinginan KPU agar wanita bisa terwakilkan di parlemen makin gencar, sampai-sampai KPU harus membuat aturan baru yang mengharuskan adanya ketewakilan perempuan 30 persen setiap dapil walaupun UU Partai Politik mewajibkan hanya pada tingkat pengurus pusat, tidak wajib untuk pengurus Provinsi dan Kabupaten/ Kota.
Sebenarnya hal ini pernah juga terjadi pada pemilu 2009 dimana KPU berkeinginan harus membuat peraturan yang menetapkan kursi ketiga harus milik perempuan dan bahkan jika peraturan tersebut tidak bisa maka akan dibuat lagi peraturan yang memungkinkan perempuan tetap dapat duduk di parlemen yaitu bahwa caleg perempuan dapat mengganti caleg yang tidak dapat dilantik. Dalam aturan KPU tersebut, dapat dibuat rumusan bahwa jika caleg terpilih tidak dapat ditetapkan sebagai caleg, maka penggantinya adalah caleg perempuan. Peraturan lain yang bisa dirumuskan adalah caleg perempuan yang tidak bisa ditetapkan sebagai caleg terpilih maka penggantinya juga harus caleg perempuan. Meski caleg pengganti ditentukan pimpinan parpol namun mereka harus tetap mengacu pada ketetapan KPU. Maka dengan begitu KPU bisa membuat aturan bahwa yang mengganti harus caleg perempuan. Hal ini juga didukung oleh aktivis perempuan yang mengatakan bahwa kursi ketiga untuk perempuan tidak menciderai mekanisme suara terbanyak dan harus terus diperjuangkan karena sesuai affirmative perempuan, bahkan aktivis lain mengatakan yang harus dilakukan bukan sampai affirmative perempuan tetapi harus sampai tataran mekanisme penetapan caleg terpilih.
Saya kembalikan lagi dengan judul diatas, apa hubungannya semua ini dengan emansipasi wanita. Dari sudut pandang penulis semua hal yang diatas sangat berhubungan sekali dengan emansipasi wanita yang selalu didengungkan oleh kita semua, terutama para aktivis wanita. Kalau kita telusuri adanya emansipasi wanita adalah bertujuan agar para wanita setara dengan pria, wanita diberikan haknya untuk melakukan apa saja yang mereka inginkan bahkan ada yang mengatakan agar wanita sama dengan para pria. Kalau kita cermati adanya peraturan yang harus mengkoordinir keterwakilan wanita di parlemen, seperti UU KPU yang mewajibkan 30% caleg harus wanita dan ancang-ancang KPU akan menetapkan aturan paksa baru agar wanita tetap terwakili, seharusnya sangatlah membuat wanita sadar bahwa diskriminasi terhadap wanita tetap ada. Wanita masih dipandang seorang yang lemah yang perlu bantuan agar bisa mencapai sesuatu. Wanita memang perlu bantuan tapi bukan bantuan seperti yang ditunjukkan oleh KPU, bagi saya cukup bagi wanita diberi kesempatan untuk jadi aleg, bukankah selama ini UU tidak pernah melarang wanita untuk menjadi aleg. Jika ada ada UU yang melarang wanita menjadi aleg baru kita bisa mengatakan bahwa hal tersebut itu tidak affermative perempuan.
Tapi jika hanya karena MK memutuskan bahwa aleg ditentukan suara terbanyak, kita bilang itu tidak menguntungkan perempuan bahkan tidak affermative perempuan, mungkin kita harus berpikir ulang mengenai emansipasi wanita, bukankah ruh dari emansipasi wanita adalah pembuktian dari kemampuan seorang wanita, bahwa kemampuan seorang wanita adalah sama atau bahkan lebih dari pria jika di beri kesempatan yang sama. Bukankah saat ini wanita diberi kesempatan yang sama dengan pria untuk menjadi aleg bahkan sekarang MK telah memutuskan bahwa aleg yang terpilih adalah caleg yang memiliki suara terbanyak. Seharusnya kaum wanita harus merasa saat inilah mereka bisa menunjukkan kemampuan mereka sama dan bahkan lebih hebat dari pria karena telah diberi kesempatan yang sama dengan pria, bukan malah sebaliknya mengharapkan bantuan dari pihak-pihak lain seperti aturan paksa yang akan dibuat KPU. Mungkin aturan paksa tersebut tidak mencederai mekanisme suara terbanyak tetapibagi saya bukankah aturan tersebut mencederai emansipasi wanita. Bagi saya aturan tersebut hanya menunjukkan bahwa kemampuan wanita memang berbeda dengan pria "kalah atau dibawah" sehingga untuk menjadi aleg harus dibantu dengan aturan paksa yang jelas-jelas bertentangan dengan aturan diatasnya. Tidakkah malunya wanita jika ada pihak yang nantinya mengatakan bahwa dia menjadi aleg karena belas kasihan aturan, tidakkah para wanita dan para aktivis wanita yang dari dulu mendukung, menyuarakan, memperjuangkan emansipasi wanita merasa terlecehkan dengan anggapan tersebut, seperti saat mereka merasa terlecehkan jika dipermainkan oleh para pria.
Seharusnya kita harus berpikir ulang apakah selama ini yang dilakukan kita adalah sebuah affirmative perempuan atau mungkin memang sebuah affirmative perempuan, tetapi sayang bukan alamiah melainkan hanya sebuah affirmative perempuan yang dipaksakan. Kalaulah memang keterwakilan wanita nantinya berkurang, bukanlah sebuah masalah, karena yang menjadi wakil wanita diparlemenadalah memang wanita yang telah berjuang sekuat tenaga dan sesuai dengan hasil usaha mereka.Adalah sebuah kenyataan bahwa segitulah kemampuan wanita sekarang untuk masuk parlemen. Kita, para aktivis perempuan dan semua wanita bisa mempersiapkan perempuan di Indonesia agar keterwakilan wanita diparlemen lebih banyak.
Kita mungkin harus juga mulai berpikir bahwa ketidakberhasilan gerakan wanita bukan dominan karena pihak-pihak luar yang menyebabkan wanita tidak berhasil, tetapi mungkin karena wanitanya yang tidak mau mencoba kesempatan yang telah dibuka bagi semua gender "pria dan wanita", seperti kesempatan untuk berpolitik. Mari kita siapkan wanita yang memiliki rasa ketertarikan terhadap politik yang tinggi, melek politik, bukan hanya mengatakan parpol tidak mendukung affirmative perempuan dengan tidak mencari dan menjaring wanita yang cerdas, tetapi kita tidak pernah bertanya pada diri kita sendiri bahwa sebenarnya banyak sekali wanita yang cerdas tidak mau untuk terjun ke kancah politik, ikut masuk ke parpol dan mencalonkan diri menjadi aleg atau setidak-tidaknya untuk mau belajar dan mengajarkan berbagai hal tentang politik ke wanita lain. Bukankah saat sekarang tidak ada larangan bagi wanita untuk berpolitik, menjadi aleg atau bahkan mendirikan partai. Saya yakin semua parpol yang ada sekarang sangat membuka diri jika ada wanita yang mau bersaing dengan pria dalam berpolitik. Jangan sampai masih ada didalam hati para wanita rasa dibayang-bayangi dominasi kaum pria, dibelenggu oleh aturan yang selalu dikatakan tidak affirmative perempuan, ketidakadilan, bias gender sehingga wanita tidak lagi bisa membayangkan cara lain untuk melihat masalah tersebut. Tetapi wanita harus mulai memikirkan cara lain untuk mengatasi masalah tersebut. Sebab jika wanita ingin berhasil mengatasi masalah tersebut dan memanfaatkan kebebasan baru wanita, wanita harus berani menghadapinya dengan tegak, tidak dirintangi oleh ideologi dan tidak mengelak dari kenyataan yang wanita lihat sekarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H