Persoalan fraud dalam Program JKN yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan menjadi pembicaraan hangat di kalangan kami mantan anggota DJSN lintas periode di group Whatsapp, karena minimnya regulasi yang terkait dengan standar pelayanan medis di Rumah Sakit.
"Bagaimana batasan  fraud yang hendak dipersoalkan, jika standar pelayanan medis batas atasnya "langit" ujar salah seorang mantan anggota DJSN teman saya berdiskusi sejak lama sampai sekarang ini.
Ungkapan itu mengingatkan saya, bagaimana akar persoalannya adalah di hulu.
UU SJSN dalam regulasinya, tidak mengatur tentang standar tindakan medis terhadap pasien. Hal itu ranahnya UU Tentang Kesehatan. UU SJSN hanya memberikan batasan pelayanan kesehatan yang menjadi hak peserta JKN. Apa itu? Berikan pasien itu sesuai dengan kebutuhan dasar kesehatan yang menjadi haknya untuk sehat dari penyakit yang dideritanya.
Batasan apa yang ditanggung dan menjadi jaminan kesehatan peserta juga sudah jelas. Lakukanlah tindakan sesuai indikasi medis, dan jika memerlukan rawat inap maka gunakanlah fasilitas rawat inap kelas standar. Apa itu definisi dan batasan kelas standar dirumuskan oleh Kementerian Kesehatan. Silahkan dituangkan dalam Peraturan Presiden tentang JKN, bagaimana definisi operasionalnya.
KDK ( Kebutuhan Dasar Kesehatan), lingkup indikasi medis mulai dari preventif, kuratif dan rehabilitatif dan batasan rawat inap kelas standar, implikasinya dengan besaran iuran, sampai hari ini persoalan tersebut masih menjadi kajian, bahasan, uji coba yang ujungnya terkait dengan besaran iuran peserta, masih belum jelas.
Persoalan dihulu itu, siapa yang paling bertanggung jawab. Jika merujuk ke UU Tentang Kesehatan adalah Kementerian Kesehatan, sebagai lembaga yang diamanatkan menyelenggarakan urusan kesehatan.
DJSN sebagai pihak yang ditugaskan untuk menghitung besaran tarif iuran JKN, agar _balance_ dengan pembayaran manfaat, dan menyediakan sedikit surplus di akhir tahun sebagai dana cadangan, tentu juga mengalami kesulitan dalam melakukan perhitungannya, jika tidak jelas kebijakan di hulu yang mencakup berbagai hal tersebut.
BPJS Kesehatan dengan acuan UU SJSN, UU BPJS, Perpres JKN, dan berbagai Permenkes yang  terkait, terkadang berada pada posisi yang sulit.
Dengan dana jaminan sosial yang dikelolanya ratusan triliun, tentu dilandingkan ke provider secara pruden. Berbagai Kebijakan Badan maupun Direksi, mengatur secara teknis terkait pemberian dana ke faskes, dan memastikan faskes yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan melaksanakan kesepakatan dengan jujur, profesional, dan akuntabel.
Persoalan kebijakan yang belum tuntas dari Kementerian terkait, jika tidak dikelola dengan baik oleh BPJS Kesehatan  misalnya adanya moral hazard, fraud dalam pelayanan medis, mungkin saja  terjadi karena  belum lengkapnya PNPK (Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran) sebagai acuan rumah Sakit, dan juga mungkin belum semua  RS membuat SOP /Clinical Pathway, sebagai Pedoman Teknis tenaga medis, merupakan ruang gelap yang bisa BPJS Kesehatan terjerembab kedalam lobang fraud dan moral hazard