Belakangan Menkeu menyadari, bahwa defisit itu tetap terjadi (kami menyebutnya bleeding) walaupun berbagai efisiensi pembiayaan sudah dilakukan. Kunci persoalannya adalah ratio uang iuran yang jomplang dengan besarnya biaya pelayanan kesehatan yang dilakukan dengan sistem Ina-CBGs.
Kondisi yang pada titik nadir itu, bola panas ada di Pemerintah dalam hal ini Kemenkeu, dan UU BPJS mengatakan jika BPJS mengalamai kesulitan pembiayaan untuk pesertanya, menjadi tanggung jawab Pemerintah mengatasinya.
Menkeu Sri Mulyani membuat kejutan. Setelah ditugaskan DJSN untuk menghitung-hitung besaran tarif dengan berbagai alternatif dan menjadi masukan kepada Menkeu, tiba-tiba Menkeu menaikkan iuran berlipat-lipat. Kelas 1, 150 ribu , kelas 2, Rp. 100 ribu dan Kelas 3, 47 ribu. Protes masyarakat sangatlah kencang waktu itu. Tapi Menkeu tetap bertahan. BPJS Kesehatan diminta menata diri, meningkatkan kualitas pelayanan supaya seimbang dengan besaran iuran.
Secara berlahan BPJS Kesehatan mulai sehat  kembali. Bleedingnya sudah ditambal. Tidak ada lagi terjadi pendarahan. Tiba-tiba datanglah Pandemi bertahun-tahun mulai 2020 sampai dengan 2022. Otomatis RS sepi, tidak ada yang berani datang ke RS, takut ketularan virus Corona-19. RS tertentu digunakan untuk pasien virus Corona, sedangkan RS lain pada tutup. Tidak ada pelayanan.
Saat Pandemi tersebut, iuran BPJS Kesehatan sudah naik, pelayanan menurun tajam, maka itulah saatnya BPJS Kesehatan mengalami surplus Dana Jaminan Sosial. Pada saat Prof Fachmi mengakhiri jabatannya, menghimpun Asset  Netto sekitar  Rp. 55 Triliun. Dengan surplus itu, pengganti Fachmi, Prof Ghufron, melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan bagi peserta JKN. Mengembangkan inovasi sistem IT, dan kemudahan waktu dalam mengatur jadwal tunggu pelayanan medis.
Bagaimana Potret Keuangan BPJS Kesehatan di Tahun Kesepuluh ini?
Dari data yang ada, untuk tahun 2024 ini, pendapatan iuran sekitar Rp. 160 T. Dari rencana pendapatan itu, diperhitungkan penerimaan iuran sebesar Rp. 157 T. Dari sini terlihat ada tunggakan iuran peserta.
Nah, bagaimana beban besarnya manfaat pelayanan peserta JKN sampai akhir tahun ini? Diproyeksikan besarnya Rp. 176 T. Berarti besaran iuran yang diterima (Rp. 157 T) lebih kecil dari penerimaan manfaat peserta yang mencapai Rp,176 T. Dari mana uang untuk menutup selisih itu. Diambillah dari cadangan yang ada (asset Netto) yang pada akhir tahun ini masih bersisa Rp.42 T.
Dari mana dapat angka Rp. 42 T? Jumlah  itu sebagai Asset netto di akhir tahun ini. Pada tahun 2024 Total Asset BPJS Kesehatan adalah Rp. 78,2 T. Sedangkan total liabilitas diperhitungkan juga sampai akhir tahun ini Rp. 35, 5 T. Sehingga Total Asset dikurangi Total Liabilitas, keluarlah angka Rp. 42,7 T. Berarti diproyeksikan pada tahun ini penyusutan Asset sebesar Rp. 17 T.
Liabilitas alias utang terus membengkak. Tentu menyebabkan Asset Netto semakin menyusut. Jika diasumsikan pembengkakan Liabilitas tahun 2025 sama dengan tahun 2024, maka Asset Netto pada akhir 2025 tinggal Rp. 25,7 T.
Angka itu hanya cukup sebagai cadangan pembayaran ke faskes sekitar 2 bulan. Idealnya cadangan Asset Netto untuk 3 bulan. Maka sudah dapat diperhitungkan semester 2 tahun 2026, BPJS Kesehatan akan mengalami kembali situasi defisit atau bleeding, yang akan menyebabkan semakin "menurunnya" pelayanan kesehatan di Faskes yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Dampaknya antara lain semakin sulitnya mengendalikan OOP atau sharing cost pelayanan, disamping potensi moral hazard dan fraud akan meningkat.