Mohon tunggu...
Chazali H Situmorang
Chazali H Situmorang Mohon Tunggu... Apoteker - Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Mantan Ketua DJSN 2011-2015. Dosen Kebijakan Publik FISIP UNAS; Direktur Social Security Development Institute, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI).

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Pajak dan Jaminan Kesehatan

13 Maret 2023   10:59 Diperbarui: 13 Maret 2023   11:10 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan rasio kepatuhan sebesar 83,2%, maka jumlah wajib pajak yang melaporkan SPT mencapai 15,82 juta, dari wajib pajak 19.08 juta orang. Di sisi lain, realisasi penerimaan pajak telah mencapai Rp1.716,8 triliun sepanjang 2022.

Penerimaan pajak memberikan kontribusi pada APBN 2022 65%. Berarti lebih dari separuh pendapatan APBN dari pajak, selebihnya dari pinjaman  dan sumber lainnya.

Tetapi perlu diketahui, bahwa penyelenggaraan Jaminan Sosial di Indonesia, termasuk JKN, tidak diambil dari uang pajak, tetapi melalui iuran dari setiap peserta ( Contribution based).

Bagi orang miskin dan tidak mampu karena perintah UU Dasar 45, Pasal 34 ayat (1)  dan ayat (4) diterbitkan UU SJSN, yang memerintahkan Negara untuk memberikan bantuan iuran, untuk semua program dan prioritas pertama untuk Jaminan Kesehatan.

Dari uang pajak Rp. 1.716,8 Triliun itu, sekitar Rp. 46 Triliun dikeluarkan sebagai PBI untuk 96,4 juta orang miskin dan tidak mampu. Jumlah itu cukup bahkan berlebih jika diambil dari cukai rokok yang ratusan triliun.

Peserta rela mengiur untuk Jaminan Kesehatan, walaupun itu menjadi kewajiban negara merujuk pada Pasal 28H ayat (1) "Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan".

Masyarakat yang menjadi peserta JKN, sebenarnya sudah rela berkurban untuk membayar iuran JKN dari kantongnya sendiri, dan atau sharing dengan perusahaannya bekerja, tidak mengusik dan menuntut dari APBN yang 65% berasal dari uang pajak masyarakat.

Tetapi kerelaan dan keikhlasan peserta itu, akan menjadi kekecewaan dan kemarahan peserta,  dengan terbongkarnya kasus RAT. Pejabat eselon 3 kantor Pajak, punya transaksi uang sampai Rp,. 500 milyar. Tidak sampai di situ, ada potensi pencucian uang Rp. 300 triliun dikalangan 467 pegawai pajak, sejak 2009 sampai 2023.

Selama 13 tahun, bagaimana bisa tidak terlacak, akal sehat tidak cukup kuat memikirkannya. Dan ingat selama 13 tahun itu 6 tahun terakhir menterinya adalah Sri Mulyani. Apakah selama 6 tahun itu Sri Mulyani menderita influenza terus menerus sehingga tidak dapat mencium beredarnya transaksi pencucian uang.

Memang selama 13 tahun itu, Menkeu silih berganti, sebut saja Jusuf Anwar, Sri Mulyani, Agus Marto, Hatta Rajasa, Muhammad Chatib Basri, Bambang Brodjonegoro, dan kembali ke Sri Mulyani. Dari nama-nama tersebut, yang lama menjabat adalah Agus Marto (3 tahun) dan Sri Mulyani (6 tahun sampai sekarang).

Perkara peredaran uang 300 triliun dikalangan 467 pegawai ditjen Pajak, apalagi  itu berupa pencucian uang, dan menurut Mahfud tidak sama dengan korupsi, merupakan kalimat bersayap yang harus didalami maknanya. Kenapa uang itu harus dicuci? Karena kotor. Uang kotor itu maknanya tidak halal. Bisa dari gratifikasi, korupsi, bisnis haram, dan lain sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun