Pada tulisan saya tanggal 7 Februari 2022 yang lalu  di Kompasiana.com  berjudul " Dilema Pananganan Fakir Miskin ( Lanjutan "Robohnya Pilar Pembangunan Kessos")  menguraikan kemelut kelembagaan di Kemensos.
Dibagian akhir tulisan itu saya me-list ada 10 persoalan dan tantangan yang dihadapi Kemensos, dengan bubarnya Ditjen Penanganan Fakir Miskin  (implikasi dari terbitnya Perpres Nomor 110/2021 tentang Kemensos) Antara lain: .
- Berpotensi untuk dilakukannya _Judicial Review_ ke Mahkamah Agung, karena Perpres 110/2021, bertentangan dengan UU Penanganan Fakir Miskin Nomor 13/2011 yaitu hilangnya tugas dan tanggungjawab Kemensos menangani fakir miskin yang diamanatkan dalam UU 13/2011.
- Hilangnya program dengan nomenklatur Penanganan Fakir Miskin di Kemensos, termasuk target sasaran, dan indikator keberhasilannya tidak bisa lagi diukur.
- Ditjen PFM untuk tahun 2022, alokasi program BPNT bagi Fakir Miskin, APBN mengalokasikan sebesar Rp. 48 triliun. Skema Penanganan Fakir Miskin itu terstruktur, terukur, dan jelas target penerima manfaat, by name by address_ sesuai DTKS.
- Jika dana Rp. 48 triliun untuk sasaran penerima fakir miskin dialihkan ke Ditjen Linjamsos (Perlindungan dan Jaminan Sosial) dengan skema bantuan sosial, penggunaan dana lebih fleksibel, karena sasaran dan lokasi penerima manfaat sangat longgar dan dengan mudah dialihkan.
- Pada Ditjen Linjamsos, sudah ada program PKH dengan dana sekitar Rp. 30 triliun. Mendapatkan dana limpahan Ditjen PFM sebesar Rp. 48 triliun, akan menimbulkan over load beban kerja dan berpotensi terjadinya penyimpangan, jika sistem pengendalian tidak kuat.
- Pendataan fakir miskin melalui DTKS yang dilaksanakan oleh Pusdatin akan kehilangan legalitas, karena tidak ada lagi fakir miskin dalam kamus Pusdatin.
- Kemensos kehilangan fungsi koordinasi terhadap kementerian lainnya yang menangani fakir miskin dari aspek kesehatan, pendidikan, dan aspek lainnya yang tercantum dalam UU PFM.
- Terjadi kondisi birokrasi yang serba tidak pasti melanda ASN Kemensos, dengan jabatan eselon 2 dibiarkan kosong. Dari 6 jabatan eselon 2 di lingkungan Setjen, 4 Kepala Biro ( Keuangan, Perencanaan, Kepegawaian, Hukum) dibiarkan kosong. Ibu Risma harus mengisi formasi itu dengan ASN yang career path nya jelas, profesional, dan menguasai persoalan teknis di lingkungan jabatan yang akan diisi.
Dengan berbagai persoalan yang dihadapi Kemensos, tentu tidak mudah mengatasinya. Apalagi proses konsolidasi kelembagaan dan birokrasi di internal Kemensos tidak berusaha untuk diperbaiki. Kita berharap Kemensos dapat menghindar dan melepaskan diri dari jepitan kepentingan politik tertentu, yang mengorbankan fakir miskin.
Sejak Kemensos mengalami Downgrade pengorganisasian dengan hilangnya 2 lembaga setingkat eselon 1, berimplikasi porak porandanya birokrasi. Ada sekitar 12  pejabat eselon 2 yang difungsionalkan tanpa dasar pertimbangan yang jelas.  Pejabat eselon 1 yang dimutasikan menjadi Dosen  di STKS. Bahkan sampai saat ini 3 jabatan eselon 2  Sekretariat Jenderal belum diisi. Masih di PLT kan. Katanya sedang dalam proses biding. Tidak jelas kenapa bidingnya terlalu lama. Padahal job  nya sangat penting. Perencanaan, Keuangan, Kepegawaian.Â
Akibatnya Mensos mengurus semua urusan dengan rentang kendali yang jauh. Dibantu dengan staf khusus yang tidak punya pengalaman menangani birokrasi. Â Kelihatannya pejabat eselon 1 struktural, duduk manis nunggu perintah.
Dari sisi program, persoalan sudah mulai muncul. Hasil temuan BPK tahun 2021 mempertanyakan dan mempersoalkan kebijakan penyaluran Bansos (PKH/BPNT) yang salah sasaran dan berpotensi menimbulkan kerugian Rp. 6,9 triliun.  dari temuan itu terindikasi Mensos tidak dapat melakukan pengendalian program Bansos yang begitu masif dan luas jangkauan pelayanannya.  Early warning system tidak tersedia dengan baik,  hal itu dapat terlihat dari poin hasil temuan BPK.
Dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2021, BPK menyebut ada indikasi tiga jenis bansos, yang tidak tepat sasaran sebesar Rp6,93 triliun, yakni PKH, BPNT, dan BST.
Bahkan, tiga bansos tersebut diketahui diberikan kepada masyarakat yang belum terdata dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), dan ada yang meninggal dunia.
Berikut indikasi BPK terhadap tidak tepatnya penyaluran 3 jenis bansos;
- Keluarga Penerima Manfaat (KPM) PKH dan Sembako/BPNT serta BST yang tidak ada di DTKS Oktober 2020. Tidak ada diusulan pemda melalui aplikasi Sistem Kesejahteraan Sosial-Next Generation (SIKS-NG).
- KPM yang bermasalah di tahun 2020 namun masih ditetapkan sebagai penerima bansos di Tahun 2021.
- KPM dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) invalid.
- KPM yang sudah dinonaktifkan.
- KPM yang dilaporkan meninggal.
- KPM bansos ganda.
- BPK juga menemukan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) tidak terdistribusi dan KPM tidak bertransaksi bansos PKH dan Sembako/BPNT dengan nilai saldo yang belum disetor ke kas negara sebesar Rp1,11 triliun.
Mensos Bu Risma, tentu tidak menerima hasil temuan itu. Mensos membantah dan menyatakan dalam 5 hari temuan itu sudah dapat diselesaikan. Suatu proses kecepatan yang luar biasa. Mensos saat ini bekerja luar biasa sebagai pemadam kebakaran dengan titik api yang banyak. Early warning system tidak jalan.
Komisi VIII DPR geger dengan temuan BPK. Langsung mengundang Mensos Rapat kerja. Â Ketua Komisi VIII DPR RI Yandri Susanto meminta penjelasan ke Kementerian Sosial (Kemensos) tentang temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait bantuan yang tidak tepat sasaran, yang diperkirakan mencapai Rp 6,9 triliun.
"Hari ini kita menggelar rapat kerja bersama Mensos Tri Rismaharini beserta jajarannya, kami mempertanyakan tentang temuan BPK yang diperkirakan mencapai Rp 6,9 triliun akibat salah dalam pembagiannya," ucap Yandri, saat ditemui awak media, di Gedung Parlemen Senayan Jakarta Senin (06/06/2022).
"Kami perlu mencermati dan mengkaji hasil evaluasi tahun 2021 agar pelaksanaan anggaran 2023 (Kemensos) dapat lebih baik dan tepat sasaran. Sehingga kedepannya tidak ada lagi temuan BPK yang mengatakan bansos salah sasaran, apalagi merugikan keuangan daerah dengan nilai yang fantastis," jelasnya.
Kita simak apa yang dikatakan Bu Menteri. Seolah-olah  persoalan itu tidak perlu diperbesar, Jawabannya saat mendapat pertanyaan dari pimpinan rapat , Mensos Risma mengatakan jika temuan itu sudah ditindaklanjuti dan sudah dilakukan penyisiran, bahkan telah diselesaikan dalam waktu kurang dari sepekan.
"Sebenarnya temuan yang diserahkan BPK itu temuan sementara yang biasa dilakukan untuk diserahkan kepada pihak Kementerian Sosial," terangnya.
Menurut informasi dari kalangan dalam Kemensos, verifikasi temuan BPK itu belum tuntas. Pihak Inspektorat Jenderal Kemensos yang ditugaskan kewalahan melaksanakannya karena besarnya cakupan data yang hendak di verifikasi dan tersebar di berbagai daerah yang menjadi temuan BPK.Â
Suasana kepanikan sudah terasa. Tidak mudah melakukan verifikasi dan validasi dalam waktu singkat sebagaimana dikehendaki BPK. Apalagi kordinasi dan komunikasi Kemensos dengan OPD (Organisasi Perangkat Daerah) dalam keadaan tidak baik-baik saja.
Bagaimana alokasi besarnya potensi penyimpangan bansos itu ( PKH/PNBP/PST), dijelaskan oleh anggota BPK Achsanul Qosasih. Sebanyak Rp5,5 triliun dana disalurkan kepada nama-nama yang tidak masuk dan tidak terdaftar dalam Daftar Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
"Mereka (Kemensos -red) harus input (nama -red) orang-orang ini, kemudian kami (BPK) uji, atau minimal harus ada yang bertanggung jawab," kata Achsanul. Siapa yang bertanggung jawab? Ditjen PFM nya saja sudah bubar. Â Pejabatnya sudah terpencar ke unit lain di kantor Kemensos, maupun di UPT -- UPT. Â Ditjen Linjamsos, masih oleng mikirin persoalan korupsi Bansos oleh Mensos terdahulu.
Ada yang menarik yang disampaikan oleh Bu Mensos. Pihaknya sudah  mengembalikan dana bantuan sosial (bansos) temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) senilai Rp 1,11 triliun ke kas negara. Uang tersebut selama ini ternyata masih "ngendon" alias tersimpan di bank. Untung ketahuan BPK, jika tidak, bisa wassalam.
Kepastian itu disampaikan Menteri Sosial Tri Rismaharini dalam rapat kerja dengan Komisi VIII DPR pada Senin 6 Juni 2022.
"Rp 1,1 triliun semua sudah disetor ke kas negara. Jadi temuan itu adalah uang di bank yang harusnya itu kalau sudah tidak salur, harus dikembalikan ke kas negara. Itu yang kita tagih," ujar Risma. Â Berarti ada persoalan di Himbara ( Himpunan Bank Negara) yang menyalurkan dana bansos.
SimpulanÂ
Temuan BPK itu merupakan indikasi kuat bahwa Kemensos tidak dikelola secara profesional dengan prinsip _good governance_. Pola dari pengelolaan Program, pengelolaan SDM, hirarkhi pengambilan keputusan, pendelegasian wewenang dan tanggung jawab, Â belum mengikuti tata laksana yang baik. Masih menerapkan manajemen jamu bakul.
Indikasi nya apa? Banyak pejabat struktural Eselon 1 sampai dengan eselon 2 saat ini sedang sakit gigi. Sulit untuk mengakses informasi yang dibutuhkan.
Semoga persoalan salah sasaran  bansos dapat diselesaikan. Kuncinya  Mensos dapat menjawab pertanyaan anggota BPK "harus ada yang bertanggung jawab".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H