Mohon tunggu...
Chazali H Situmorang
Chazali H Situmorang Mohon Tunggu... Apoteker - Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Mantan Ketua DJSN 2011-2015. Dosen Kebijakan Publik FISIP UNAS; Direktur Social Security Development Institute, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI).

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Dilema Penanganan Fakir Miskin (Lanjutan "Robohnya Pilar Pembangunan Kessos)

7 Februari 2022   23:55 Diperbarui: 8 Februari 2022   00:00 1279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Ada beberapa persoalan besar yang dihadapi Kemensos kedepan, sebagai implikasi dari terbitnya Perpres Nomor 110/2021 tentang Kemensos antara lain:

  • Berpotensi untuk dilakukannya _Judicial Review_ ke Mahkamah Agung,  karena Perpres 110/2021, bertentangan dengan UU Penanganan Fakir Miskin Nomor 13/2011 yaitu hilangnya tugas dan tanggungjawab Kemensos menangani fakir miskin yang diamanatkan dalam UU 13/2011.
  • Hilangnya program dengan nomenklatur Penanganan Fakir Miskin di Kemensos, termasuk target sasaran, dan indikator keberhasilannya tidak bisa lagi diukur.
  • Ditjen PFM untuk tahun 2022, alokasi program BPNT bagi Fakir Miskin, APBN mengalokasikan sebesar Rp. 48 triliun. Skema Penanganan Fakir Miskin itu terstruktur, terukur, dan jelas target penerima manfaat, _by name by address_ sesuai DTKS.
  • Jika dana Rp. 48 triliun  untuk sasaran penerima fakir miskin dialihkan ke Ditjen Linjamsos (Perlindungan dan Jaminan Sosial) dengan skema bantuan sosial, penggunaan dana lebih fleksibel, karena sasaran dan lokasi penerima manfaat sangat longgar dan dengan mudah dialihkan.
  • Pada Ditjen Linjamsos, sudah ada program PKH dengan dana sekitar Rp. 30 triliun. Mendapatkan dana limpahan Ditjen PFM sebesar Rp. 48 triliun, akan menimbulkan _over load_ beban kerja dan berpotensi terjadinya penyimpangan, jika sistem pengendalian tidak kuat.
  • Pendataan fakir miskin melalui DTKS  yang dilaksanakan oleh Pusdatin akan kehilangan legalitas, karena tidak ada lagi fakir miskin dalam kamus Pusdatin.
  • Kemensos juga akan kehilangan legalitas menerbitkan Permensos tentang PBI JKN  untuk dasar Kemenkes membayarkan peserta PBI JKN kepada BPJS Kesehatan.
  • Kemensos kehilangan fungsi koordinasi terhadap kementerian lainnya yang menangani fakir miskin dari aspek kesehatan,  pendidikan, dan aspek lainnya yang tercantum dalam UU PFM.
  • Kemensos harus mampu menjelaskan kepada Komisi VIII DPR RI, tentang perobahan struktur organisasi dan rencana pergeseran Program dan Anggaran, dalam rangka pengawasan yang harus dilakukan DPR.
  • Terjadi kondisi birokrasi yang serba tidak pasti melanda ASN Kemensos, dengan jabatan eselon 2 dibiarkan kosong. Dari 6 jabatan eselon 2 di lingkungan Setjen, 4 Kepala Biro ( Keuangan, Perencanaan, Kepegawaian, Hukum) di biarkan kosong. Ibu Risma harus mengisi formasi itu dengan ASN yang _career path_ nya jelas, profesional, dan menguasai persoalan teknis di lingkungan jabatan yang akan di isi. 

Dengan sepuluh persoalan yang dihadapi Kemensos, tentu tidak mudah mengatasinya. Apalagi proses konsolidasi kelembagaan dan birokrasi di internal Kemensos tidak berusaha untuk diperbaiki. Kita berharap Kemensos dapat menghindar dan melepaskan diri dari jepitan kepentingan politik tertentu, yang mengorbankan fakir miskin dan "penghuni" Kemensos.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun