Kementerian Kesehatan menyampaikan bahwa tes swab melalui metode Real Time Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) kini bisa turun harga sejalan dengan harga reagen yang menurun. Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes Abdul Kadir mengatakan harga reagen dan bahan medis habis pakai (BMHP) yang dipesan dari produsen juga mengalami penurunan harga jual.
"Disebabkan karena penurunan dari pada harga reagen dan BMHP. Jadi pada tahap-tahap awal, harga reagen yang kita beli kebanyakan harganya masih tinggi sehingga kita tetap mengacu pada harga tersebut," kata Kadir dalam konferensi pers, Senin (16/8).
Dia mengatakan Kemenkes telah melakukan evaluasi bersama Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) RI. Dengan demikian, harga tes PCR bisa turun. Tarif tertinggi RT PCR kini sebesar Rp495 ribu untuk daerah di Jawa-Bali dan Rp525 ribu untuk daerah luar Jawa-Bali.
Itulah pernyataan resmi Kementerian Kesehatan terkait dengan turunnya harga swab PCR yang lebih  50% dari harga semula. Jika kita menyimak  tarif resmi sekarang ini antara Rp. 800 ribu sampai 1 juta rupiah, jangan membacanya hanya bagi mereka yang memerlukan secara mandiri, tetapi juga PCR yang dilakukan pemerintah dalam rangka Testing bagi kelompok sasaran secara gratis, tetapi tentunya pemerintah yang membayar dari APBN  sesuai dengan harga BMHP nya, mungkin dengan ada  _special rate_.
Ada pertanyaan yang tersisa dari penjelasan Kemenkes itu, yakni apakah turunnya harga PCR karena memang BMHP nya sudah turun, dan kalau sudah turun sejak kapan, atau karena adanya perintah Presiden Jokowi kepada Menkes untuk menurunkannya lebih  50%. Mungkin Presiden bilang kepada Menkes, India kenapa bisa lebih murah dari Indonesia, padahal sama-sama import,
Kalau memang bahan bakunya sudah turun, kenapa  kebijakan Kementerian itu keluar sesudah ada perintah Presiden untuk menurunkan. Sejak awal Presiden sudah mengingatkan para menterinya dalam suasana pandemi Covid-19, kita berada dalam keadaan darurat ( emergency situation), yang sudah pada tingkat mengancam jiwa manusia.Â
Bukan saja mengancam, tetapi sudah menimbulkan kematian 120 ribu lebih penduduk Indonesia. Itu bukan sekedar angka tetapi jumlah manusia. Jumlah itu sama dengan habisnya penduduk satu kota kecil, seperti Sibolga, atau satu Kabupaten di wilayah Papua atau NTT.
Pemerintah sudah "babak belur"dan rakyat merasakan bebannya,  penerapan  PSBB, PPKM Mikro, PPKM Darurat, dan saat ini PPKM level 3 dan 4. Tetapi di sisi lain  masyarakat merasakan warna yang berbeda yang ditampilkan oleh beberapa menteri terkait beririsan langsung dengan bencana wabah ini.
Khususnya terkait pengadaan obat dan BMHP untuk kepentingan Testing dan Treatment Covid-19 yang menjadi kewajiban pemerintah. Dirasakan Kemenkes tidak berdaya dengan kelangkaan obat anti virus, ketersediaan oksigen, penyediaan vitamin untuk imunitas, dipihak lain rakyat diingatkan terus dan itu memang perlu dan penting untuk menerapkan 3 M ( Memakai masker, Mencuci tangan, dan Menjaga jarak).
mbangan antara 3 T dengan 3 M ini, seharusnya menjadi landasan berpijak Kementerian  menerapkan kebijakan untuk kepentingan publik.
Sepertinya Kementerian Kesehatan keteteran dan kedodoran dalam membuat dan menerapkan kebijakan publiknya sesuai keadaan  situasi  emergency ini. Mungkin  karena  banyak sebab. Antara lain terlalu jauhnya "intervensi" kementerian lain yang terkesan "power full" terhadap Kemenkes, sehingga wajah kebijakan publiknya menjadi tidak lurus ke kepentingan masyarakat.