Bureaucracy Trap atau Jebakan Birokrasi di Indonesia telah menyentuh Presiden Republik Indonesa. Kesalahan narasi (bukan sekedar salah ketik/typo) Pasal 6 UU Cipta Karya, dan beberapa pasal lainnya yang sudah ditandatangan Presiden Jokowi dan diberi Nomor 11 Tahun 2020, tanggal 2 November 2020 Â menjadi pembicaraan hangat di masyarakat.
Para ahli hukum dan akademisi menyatakan bahwa UU Cipta Karya itu sudah cacat, tidak lagi mempunyai legal standing. Soal itu benar tidaknya akan di uji di Mahkamah Konstitusi, Biarlah para pakar hukum berdebat untuk mendapatkan kebenaran hukum, dan keadilan.
Dari sisi Ilmu Administrasi Publik, yang perlu dikaji mendalam kenapa kesalahan itu bisa terjadi? Secara hierarchy birokrasi siapa yang harus bertanggung jawab? Apakah ada unsur kesengajaan atau kelalaian atau tidak cermat? Ataukah ada upaya pembiaran, sebagai jebakan sehingga akan mempermalukan pejabat negara atau bahkan menimbulkan kegoncangan penyelenggaraan pemerintahan?.
Mari kita lihat satu persatu. Perjalanan RUU Cipta Karya itu sebagai produk Omnibus Law, sudah disahkan di Paripurna DPR RI tanggal 5 Oktober 2020. Paling lambat dalam satu minggu harus disampaikan kepada Presiden. Tentu yang disampaikan ke Presiden bentuk final karena konsolidasi perapihan typo di Baleg sudah dilakukan  dikerjakan oleh Tim Tenaga Ahli profesional, dibawah komando administratornya Sekretaris Jenderal DPR RI.
Aziz Syamsudin sebagai Wakil Ketua DPR di depan wartawan sangat yakin bahwa substansi sudah clear, typo sudah diperbaiki. Pak Sekjen DPR akan mengantar hari ini juga (14 Oktober 2020) kepada Mensesneg.
Perlu dicatat bahwa hasil final di Baleg sesudah diputuskan dalam Paripurna, jumlah halamannya berubah menjadi 812 halaman. Ini final kata Aziz Syamsudin. Hal ini mengindikasikan bahwa tim Baleg sudah bekerja serius dan sungguh-sungguh melakukan perapihan redaksional tanpa merubah substansi.
Sampai di Sekneg, diterima langsung oleh Mensesneg Pratikno, agar diundangkan oleh Presiden paling lambat 3o hari.
Selama dua minggu kemudian, pihak Kementerian Sekretariat Negara  rupanya merapikan dokumen RUU itu, dan katanya telah berkoordinasi dengan Sekretariat Jenderal DPR, hasilnya jumlah halaman bertambah cukup banyak menjadi 1.187 halaman.
Artinya penyaringan ketat juga dilakukan di Sekretariat Negara, oleh para pejabat birokrasi yang tupoksinya terkait dengan produk perundang-undangan. Bagi mereka hal itu bukan pekerjaan yang baru, sudah menu sehari-hari sejak Indonesia Merdeka dan sejak adanya lembaga Sekretariat Negara.
Dengan keyakinan penuh Mensesneg Pratikno pada tanggal 2 November 2020 menyampaikan kepada Presiden Jokowi untuk di tanda tangani Presiden. Pak Jokowi tidak mungkin membaca lagi isinya yang 1.187 halaman itu, sudah percaya penuh pada Mensesnegnya, yang diyakini tidak akan membuat kesalahan.
Setelah ditanda tangani Presiden, dikirim ke Menkumham untuk dicatat dalam Lembar Negara, maka syah menjadi UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020.