Pasal 19 UU SJSN, ayat  (1) Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Ayat  (2) Jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.
Prinsip asuransi sosial adalah mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta atau anggota keluarganya.
Prinsip ekuitas yaitu kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai dengan kebutuhan medisnya yang tidak terikat dengan besaran iuran yang telah dibayarkannya.
Terdapat lima ciri-ciri asuransi sosial yang menjadikannya berbeda dengan produk asuransi pada umumnya, yaitu:
- Bersifat wajib bagi setiap individu.
- Dibangun dengan berlandaskan asas gotong royong dengan prinsip kebersamaan.
- Premi berasal dari masyarakat atau pekerja dan perusahaan tempat pekerja bernaung.
- Bersifat sosial dan tidak bertujuan mencari keuntungan.
- Bertujuan untuk memberikan jaminan kesejahteraan kepada seluruh masyarakat.
Karena tidak mencari keuntungan, dalam asuransi sosial, dalam hal ini JKN, tidak dikenal istilah profit ataupun surplus. Jika terjadi surplus, harus diseimbangkan lagi dengan menurunkan iuran. Jika defisit atau minus, diseimbangkan lagi dengan menaikkan iuran. Â Sederhana sebetulnya.
Terkait peserta JKN, undang-undang SJSN, hanya mengenal dua tipe peserta JKN yaitu peserta yang iurannya dibayarkan Pemerintah karena fakir miskin dan tidak mampu, disebut juga penerima PBI. Tipe kedua adalah non PBI, yaitu mereka yang masuk kategori mampu, Â iurannya dibayar yang bersangkutan secara mandiri maupun iuran dibayarkan sharing antara pemberi kerja dan pekerja, bagi mereka yang menerima upah dari pemberi kerja.
Syarat  peserta hanya dua yaitu mendaftar dan  membayar iuran. Registrasi kepesertaannya  tidak hilang jika  menunggak iuran, tetapi tidak mendapatkan haknya atas pelayanan kesehatan.
Prinsip berikutnya adalah, setiap peserta baik miskin maupun mereka yang mampu mendapatkan hak pelayanan kesehatan yang sama ( ekuitas)  asalkan terindikasi medis, mulai dari  tindakan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Jika memerlukan rawat inap, semua peserta mendapatkan fasilitas yang sama yaitu fasilitas kelas standar. Sesuai  prinsip asuransi sosial dan ekuitas.
Dalam kenyataannya, pemerintah tidak mampu merumuskan yang dimaksud kelas standar sesuai perintah UU SJSN, akhirnya kelas standar tersebut dimaknai dengan 3 kategori kelas yaitu kelas I, II, dan III. disinilah awal pangkal ruwet nya  besaran iuran yang diatur pemerintah tanpa mengikuti spirit  dari UU SJSN.
Dibuat ah pembatasan, yaitu peserta fakir miskin dan tidak mampu fasilitas akomodasi untuk rawat inap  hanya boleh masuk di kelas III  ( 1 kamar 6 tempat tidur). Bagi peserta mandiri ( yang membayar sendiri) dapat menentukan pilihan kelas  rawat inap, kelas I, II, atau III tergantung tingkat kemampuannya, dengan catatan juga pelayanan medis tidak ada perbedaan perlakuan.
Untuk mengendalikan defisit JKN sebagai akibat rendahnya iuran PBI yang diberikan pemerintah untuk fakir miskin dan tidak mampu sejak 5 tahun terakhir ini, maka Agustus 2019 Â yang lalu dinaikanlah iuran PBI sebesar Rp. 42.000.-/POPB, yang semula sebesar Rp. 23.000/POPB.