Selanjutnya , pada tahun 2019 DJSN menghitung bahwa rata-rata biaya pelayanan perorang perbulan adalah Rp.60.000.- maka dari kalkulasi aktuaria keluarlah  besaran iuran Rp. 42.000/POPB untuk kelas III mandiri, dan kali ini  pemerintah tidak ingin terjadi lagi defisit, iuran PBI meningkat tajam Rp. 42.000/POPB, dari semula Rp.23.000/POPB.  Dengan jumlah peserta lebih dari 133 juta (PBI APBN dan APBD).
Mungkin Menkes berhitung bahwa kenaikan iuran PBI (APBN/APBD) sebesar Rp. 30,3 triliun ( 133 juta x 12 bulan x Rp. 19.000). dapat menutup defisit bahkan ada profit ( maksudnya surplus), dan surplus tersebut digunakan untuk menutup kekurangan iuran mandiri kelas III sebanyak Rp. 16.500/POPB, dikalikan 12 bulan untuk 19,9 juta peserta mandiri Kelas III. Totalnya adalah Rp. 3,9 triliun.
Ada beberapa persoalan yang dapat timbul dengan kebijakan solusi alternatif kedua tersebut yaitu:
- Kita mengetahui bersama, bahwa utilisasi peserta PBI belumlah maksimal. Masih ada potensi peningkatan utilisasi pemanfaatan pelayanan JKN yang berlipat oleh para fakir miskin dan tidak mampu yang memang menjadi hak mereka. Sehingga iuran yang diperoleh berlipat juga digunakan untuk segmen  PBI.
- Adanya potensi Pemda menurunkan cakupan peserta PBI APBD karena kenaikan iuran PBI, sehingga besaran iuran dari PBI tidak mencapai target.
- Semakin bertambahnya jumlah peserta mandiri kelas III yang berasal dari peserta PBI APBD yang di exit, dan migrasinya peserta PBPU dan BP kelas II dan I ke kelas III.
- Poin 2 dan 3, akan berimplikasi terhadap semakin berkurangnya surplus ( profit isitlah Menkes) dana iuran PBI. Itupun kalau hitungan surplusnya akurat, mengingat besarnya utang yang harus di bayar ke faskes. Jika tidak, maka akan muncul lagi hantu defisit generasi terbaru, yang membuat semakin rumitnya penyelesaian defisit.
- Mengacaukan Sistem Social Security yang diamanatkan oleh UU SJSN. Karena UU SJSN jelas menyatakan bahwa kewajiban Pemerintah sebagai Penyelenggara Negara adalah membayarkan iuran "hanya" untuk orang fakir miskin dan tidak mampu, bagi yang tidak miskin dan mampu wajib bayar iuran ( contribution based). Sebagai pemberi kerja Pemerintah wajib membayarkan iuran sharing  dengan pekerja.
- Apakah sudah diperhitungkan untuk kenaikan biaya pelayanan kesehatan JKN, khususnya prospective payment dengan INA-CBGs di RS, yang saat ini dikeluhkan sudah tidak sesuai dengan kebutuhan operasional RS dan tenaga medis.
Kesimpulan
Dengan 6 persoalan yang akan timbul, dengan solusi alternatif kedua diatas, secara jujur kita harus mengakui, bahwa solusi tersebut adalah solusi fatamorgana. Solusi yang semu. Ibarat suatu bayangan yang tampak seperti ada tapi sebenarnya tidak ada.
Terkesan bahwa kesepakatan Pemerintah dengan Komisi IX DPR basa-basi, sekedar tidak ada yang kehilangan muka. DPR sudah bersikukuh batalkan kenaikan iuran kelas III mandiri, sedangkan Pemerintah tentu tetap akan mempertahankan kebijakannya yang tertuang dalam Perpres 75/ 2019.
Kondisi tersebut juga semakin mempersulit posisi BPJS Kesehatan dalam melaksanakan tugas, dan kewajibannya yang diamanatkan dalam UU SJSN dan UU BPJS.
BPJS Kesehatan tidak berkutik atas desakan keinginan Menkes dengan paket solusi alternatif kedua, sebab dana PBI sebesar Rp. 48,7 triliun bersumber dari belanja sektor kesehatan APBN 2020. Â Seharusnya dana PBI itu menggunakan landasan hukum UU SJSN, sehingga pos anggaran adalah pos anggaran Jaminan Sosial yang dimasukan dalam belanja sektor Jaminan Kesehatan yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan.
Cibubur, 19 Desember 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H