Saat Rapat Kerja dengan Menteri Kesehatan, Komisi IX DPR RI sepakat mengusulkan revisi atas Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 yang mengatur kenaikan iuran peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan akan berlaku 1 Januari 2020. Komisi IX DPR RI meminta Pemerintah tidak menaikkan BPJS Kesehatan Kelas III.
"Pokoknya, kami mau tidak ada kenaikan iuran peserta PBPU (Peserta Bukan Penerima Upah) Kelas III. Perpres Nomor 75 Â Tahun 2019 mau ditunda atau direvisi, ya monggo. Yang penting iuran BPJS khusus Kelas III tidak naik," tegas Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Nihayatul Wafiroh saat Raker dengan Menteri Kesehatan, Dirut BPJS, Dewas BPJS dan Kepala DJSN di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Kamis (12/12/2019).
Dengan sikap tegas DPR tersebut, lantas Menkes Terawan mengajukan usulan kompromi dengan mengajukan alternatif kedua solusi dari 3 alternatif yang sudah dibuatkan formulasinya.
Apa saja 3 solusi dimaksud, sebagai berikut : "Alternatif pertama, usulan subsidi pemerintah atas selisih kenaikan iuran JKN pada peserta PBPU dan BP Â Kelas III. Tapi, kami masih menunggu kepastian jawaban Menteri Keuangan," kata Terawan.
Alternatif kedua, Terawan melanjutkan, memanfaatkan profit atas klaim rasio peserta penerima bantuan iuran (PBI) yang diproyeksikan pada tahun mendatang akan ada profit akibat kenaikan iuran JKN berdasarkan Perpres 75/2019. Alternatif ketiga, kata Terawan, Kementerian Sosial sedang melakukan perbaikan kualitas data PBI sekaligus mengintegrasikan data PBI dengan Data Terpadu Program Kesejahteraan Sosial (DTKS).
Ujung dari pembahasan dengan DPR tersebut, disepakati dipilihlah alternatif kedua memanfaatkan profit atas klaim rasio peserta penerima bantuan iuran (PBI) yang diproyeksikan pada tahun mendatang akan ada profit akibat kenaikan iuran JKN berdasarkan Perpres.
BPJS Kesehatan dan DJSN mengamini solusi yang disampaikan Menkes, dan bagi DPR yang penting jangan naik peserta JKN Â mandiri kelas III. Titik !.
Solusi fatamorganaÂ
Mari kita  cermati  kondisi empiris yang berlangsung saat ini, dalam penyelenggaraan JKN sejak dimulainya Program JKN 1 Januari 2014.  Kita tahu bersama pada tahun 2014 saja sudah defisit Rp. 3,3 triliun , dengan iuran PBI Rp.19.225/POPB ( DJSN menghitung Rp. 27.000/POPB), dan defisit terjun bebas sampai saat ini.
Defisit tidak terbendung karena kenaikan iuran PBI berikutnya 2 tahun kemudian ( 2016) hanya sedikit yaitu Rp.23.000/POPB, sedangkan waktu itu DJSN menghitung idealnya naik Rp. 36.000/POPB. Â Sudah jelaslah defisit.
Dr. Asih Anggota DJSN menyebutkan bahwa defisit yang terjadi adalah defisit struktural. Defisit yang terjadi secara terstruktur. Pada tahun 2015, DJSN bekerjasama dengan FKM UI ( Tim Prof Budi Hidayat), melakukan penelitian di beberapa Puskesmas dan RS menyimpulkan bahwa rata-rata  pembiayaan JKN untuk setiap peserta adalah Rp. 51,000/POPB.