Mohon tunggu...
Chazali H Situmorang
Chazali H Situmorang Mohon Tunggu... Apoteker - Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Mantan Ketua DJSN 2011-2015. Dosen Kebijakan Publik FISIP UNAS; Direktur Social Security Development Institute, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI).

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Tiga Persoalan Besar "Menghantam" BPJS TK

11 Maret 2019   23:38 Diperbarui: 12 Maret 2019   00:17 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BPJS  Ketenagakerjaan (BPJS TK), kita ketahui bersama adalah  Badan Hukum Publik sebagaimana amanat UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminasn Sosial Nasional. Dalam undang-undang itu ditegaskan BPJS TK bukan lembaga baru tetapi merupakan transformasi dari PT.Jamsostek yang merupakan Badan Hukum Private dan diatur dengan UU BUMN dan UU PT. Proses transformasi kelembagaan selesai dan mulai beroperasional sejak 1 Januari 2014.

UU SJSN adalah Undang -- Undang Lex specialis. Kita ketahui bersama bahwa Lex specialis derogat legi generali adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis).

Maknanya adalah jika ada produk Undang -- Undang lain yang mengatur tentang jaminan sosial harus dikesampingkan dan merujuk pada Undang-Undang SJSN.

Kekuatan BPJS ( TK-Kes), diperintahkan oleh UU SJSN harus   dibentuk dengan Undang-Undang. Pasal 5 ayat 1). Kalaupun mau dibubarkan juga harus dengan UU. Presiden tidak dapat membubarkan BPJS. Payung hukum yang kuat dan status sebagai Badan Hukum Publik sama dengan Kementerian dan Pemerintah Daerah. BPJS  posisinya sebagai lembaga Mitra Pemerintah yang berada dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Bahkan  BPJS secara eksplisit pemegang mandat UU SJSN dan UU BPJS, dalam ketentuan umum kedua undang-undang tersebut tidak ada satu kementerian pun yang diperkenankan untuk mengatur dan menyelenggarakan SJSN dan BPJS. UU BPJS dengan tegas mengamanatkan (mandatori) kepada BPJS  untuk menyelenggarakan Program Jaminan Sosial. BPJS TK menyelenggarakan Program JKK, JHT, JP, dan JKm.

Tidak perlu ada penafsiran lain, bahwa jika ada lembaga pemerintah yang menerbitkan regulasi tentang Program JKK, JHT, JP, dan JKm tidak merujuk pada UU SJSN dan UU BPJS sebagai Lex Specialis, harus dikesampingkan demi hukum. Dan BPJS TK harus punya keberanian untuk itu, jika perlu lapor pada atasan langsung yaitu Presiden untuk dilakukan penyesuaian dengan UU yang ada.

Ada 9 prinsip Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan : a. kegotong-royongan; b. nirlaba; c. keterbukaan; d. kehati-hatian; e. akuntabilitas; f. portabilitas; g. kepesertaan bersifat wajib; h. dana amanat , dan i. hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.

Dengan 9 prinsip tersebut, BPJS bergerak dan melaksanakan programnya yang berbeda dan spesifik untuk sebesar-besarnya bermanfaat bagi pesertanya. Dengan prinsip nirlaba BPJS dilarang mengambil untung dari pengelolaan Dana Jaminan Sosial, tetapi harus dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta. Itulah idealisme yang terbangun dari UU SJSN  dan  menjiwai BPJS TK dalam  bekerja.

Persoalan besar yang menyulitkan BPJS TK.

Walaupun berbagai hal yang diutarakan diatas menggambarkan posisi BPJS kuat secara hukum dan kelembagaan, tetapi bukan berarti tidak ada persoalan yang menyulitkan posisi BPJS TK, karena menyangkut lembaga Pemerintah dan merupakan mitra BPJS TK ( sama-sama badan hukum publik, dan sama-sama bertanggung jawab pada Presiden). SIkap keengganan BPJS TK untuk menyelesaikan persoalan besar tersebut karena sebagai lembaga baru lahir merasa tidak cukup punya "power" untuk menghadapinya. Tetapi kalau tidak diselesaikan ada persoalan hukum yang menyimpang, dan dari aspek program merugikan pengembangan program Jaminan Sosial yang diselenggarakan  BPJS TK.

Persoalan pertama, adalah terkait dengan terbitnya UU Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam.

Dalam pasal-pasal 30, 31, 32  dan 33 pada intinya para nelayan, pembudidaya  ikan, petambak garam, dalam melaksanakan kegiatannya tersebut, jika mengalami kecelakaan kerja, kematian akan mendapatkan asuransi dengan bantuan premi dari pemerintah sesuai dengan kemampuan pemerintah. Sampai disini sudah sejalan dengan UU SJSN. Tetapi rupanya untuk mengelola asuransi dan mengelola premi dari pemerintah, Undang-Undang ini menyebutkan "Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat menugasi badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah di bidang asuransi.....". Pemerintah sudah mengabaikan UU SJSN dan UU BPJS yang lex specialis terkait dengan Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Sudah pasti aturan pelaksanaan juga sama saja, lebih mempertegas dan memperjelas penyimpangan itu. Menteri KKP mengeluarkan kebijakan menunjuk PT. Jasindo (BUMN) sebagai pengelola asuransi sosial tersebut dengan menerima premi dari pemerintah dan men take-over resiko kecelakaan kerja dan kematian nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam.

Ada dua aspek yang tidak konsisten, yaitu pertama: terkait hak mandatori yang diamanatkan UU SJSN kepada BPJS TK diabaikan dalam UU No. 7 tahun 2016. Kedua , penunjukkan BUMN ( PT.Jasindo),  tidak sesuai dengan prinsip SJSN yaitu "hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta". Sebagai badan hukum private, BUMN tetap mencari untung. Tidak mungkin Dana Jaminan Sosial yang didapat dipergunakan seluruhnya untuk kepentingan peserta.

Sebagai contoh, tahun 2016 KKP mengalokasi dana APBN Rp.250 miliar, sebagai premi JKK dan JKm untuk 500 ribu  nelayan selama setahun. Misalnya Jasindo mengeluarkan biaya take over resiko (pemberian manfaat)  JKK dan JKm sebesar  40% ( karena angka kasus kecelakaan kerja dan kasus kematian  sangat kecil), dari premi Rp. 250 miliar, adalah sebesar Rp. 100 miliar, berarti Jasindo  mendapatkan keuntungan kotor Rp. 150 miliar.  Karena keuntungan tentu sudah menjadi hak Jasindo yang dapat digunakan diluar kepentingan peserta.

Jika pengelolaan dilakukan oleh BPJS TK, sesuai dengan perintah UU SJSN, UU BPJS, maka keuntungan yang Rp. 150 miliar tersebut harus dikembalikan kepada peserta dalam bentuk pengembangan program dan penyesuaian besarnya manfaat yang akan didapat peserta. BPJS TK tidak boleh menggunakan dana tersebut untuk kepentingan Management dan kepentingan apapun selain kepentingan program. Return To Work aalah salah satu bentuk pengembangan program yang telah dilakukan.

Persoalan kedua, terkait dengan PP Nomor 70 Tahun 2015 Tentang Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian Bagi Pegawai Aparatur Sipil Negara. Rujukan PP ini adalah ketentuan Pasal 92 ayat (4) , dan Pasal 107 UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang ASN.

Adapun bunyi Pasal 92 (1) Pemerintah wajib memberikan perlindungan berupa: a. jaminan kesehatan; b. jaminan kecelakaan kerja; c. jaminan kematian; dan d. bantuan hukum. (2) Perlindungan berupa jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c mencakup jaminan sosial yang diberikan dalam program jaminan sosial nasional. (3) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, berupa pemberian bantuan hukum dalam perkara yang dihadapi di pengadilan terkait pelaksanaan tugasnya. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Jelas PP 70 ini tidak merujuk ke UU SJSN dan UU BPJS tetapi merujuk pada UU Nomor 5 Tentang ASN. Sedangkan UU ASN pada Pasal 92  ayat (1) dan (2) merujuk pada substansi UU SJSN yaitu " jaminan sosial diberikan dalam program jaminan sosial nasional".

Pertimbangan Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan yang mengajukan Draft PP tersebut, adalah agar pelaksanaan Program JKK, JKm lebih efektif dan efisien ( baca penjelasan)  ditunjuk PT.Taspen yang merupakan BUMN yang selama ini dinilai sudah cukup baik melaksanakan program JKK dan JKm bagi PNS.

Disini Pemerintah sudah membuat stigma lembaga pemerintah lainnya yang berbadan hukum publik dan nirlaba yaitu BPJS TK tidak efektif dan tidak efisien dibandingkan dengan  BUMN yang merupakan badan hukum private dan pasti mencari keuntungan.

Bagi BPJS TK, ini persoalan prinsip yang harus diselesaikan.  Regulasi yang tidak konsisten dan bertabrakan satu dengan yang lain,  mencerminkan tata kelola pemerintah yang tidak baik. Dan ini salah satu bentuk "pelemahan" yang sistemik  terhadap keberadaan BPJS TK sebagai  mandatori melaksanakan Sistem Jaminan Sosial Nasional yang diamanatkan oleh UUD 1945.

Persoalan ketiga, adalah .dalam implementasi program JHT SJSN, yaitu pertama, Lemahnya komitmen Negara; kedua, Inkonsistensi Regulasi; ketiga, Multitafsir regulasi; dan keempat, advokasi dan sosialisasi belum maksimal.  Keempat kelemahan ini saling berkaitan satu sama lain. Kelemahan pertama, kedua dan ketiga bersumber dari subjek yang sama yaitu PP 46, PP 60, dan Permenaker 19/2015, dengan merujuk pada  UU SJSN. Masalah keempat belum maksimalnya sosialisasi dan advokasi oleh BPJS Ketenagakerjaan  ditengarai sebagai pemicu marahnya Pekerja  pada saat diluncurkan PP 46/2015. Padahal PP 46/2015 sudah mengacu UU SJSN, tetapi karena pemerintah lebih mengutamakan kepentingan politik kekuasaan dari pada politik konstitusi, dibuat perubahan dan terbitlah  PP 60/2015 dan Permenaker 19/2015, yang jauh menyimpang dari yang diamanatkan UU SJSN.

Dalam kaitan program JHT seusai dengan SJSN,  implementasinya diatur dalam Permenaker 19/2015 , khususnya terkait Tata Cara dan Syarat Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua, kerancuan regulasi tersebut sudah sangat rumit dan membingungkan. Lihat pasal 3, ayat (2) dan (3), bagaimana dengan 'halusnya' mengaitkan usia pensiun dengan pengunduran diri Peserta, dan Peserta terkena pemutusan hubungan kerja.   Jelas ayat (2) dan (3) tersebut tidak ada dalam pasal-pasal JHT di UU SJSN. Demikian juga lihat Pasal 5 dan Pasal 6  syarat usia pensiun menjadi kabur, dan batas 10 tahun sudah tidak ada bahkan kurang dari 5 tahun, dapat  ditafsirkan JHT dapat ambil. Kondisi  multitafsir tsb tentu akan menimbulkan kebingungan bagi penyelenggara BPJS Ketenagakerjaan di lapangan. Permenaker ini menurut berbagai kalangan patut diduga sebagai usaha pemerintah dalam hal ini Kementerian Tenaga Kerja untuk menenangkan Pekerja, dipihak lain memberi kelonggaran pengusaha untuk tidak membayar pesangon, karena sudah mendapat JHT, dengan alasan JHT tersebut, yang besar Iurannya 5,7%, sebesar 3,7% dari kantong pengusaha.

Bagaimana Solusinya?

Pertama sekali BPJS TK harus dimotivasi untuk berdiri tegak sama tinggi dengan lembaga pemerintah lainnya. Sama-sama melaksanakan amanat konstitusi, melindungi semua pekerja baik yang punya hubungan kerja ( mendapat upah) maupun pekerja yang tidak mempunyai hubungan kerja (tidak menerima upah). Jangan timbul atau dibebani mental inferior karena dulunya BUMN yang telah bertransformasi.

Optimalkan Dewan Pengawas BPJS TK, yang merupakan perwakilan pemilik (Owner)  yang terdiri dari unsur pekerja, pemberi kerja, pemerintah maupun ahli jaminan sosial, untuk melakukan penguatan kelembagaan melalui berbagai pendekatan dengan stakeholder dan mitra kerja terkait  sehingga timbul kesepahaman tentang posisi BPJS TK sebagai pemegang mandat menyelenggarakan Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Jajaran Direksi BPJS TK, harus bekerja keras melakukan pendekatan-pendekatan khusus kepada berbagai lembaga pemerintah yang terkait dengan 3 persoalan besar tersebut, agar tidak terjadi gagal paham terhadap keberadaan BPJS TK. Divisi Hukum BPJS TK didorong  terus-menerus (walapun mungkin sudah dilakukan), untuk berkoordinasi dan berkomunikasi dengan Kementerian Hukum dan HAM yang lingkup tugasnya mengharmonisasikan semua regulasi yang dikeluarkan, untuk duduk bersama dengan Biro Hukum lembaga pemerintah terkait agar dapat diuraikan dimana "kekusutan" itu terjadi.

Langkah berikutnya, jika semua jurus yang digunakan gagal total, Dewas dan Direksi BPJS TK, meminta waktu menghadap Presiden meng utarakan permasalah yang dihadapi serta implikasi hukum dan program. Dan agar prosesnya berjalan fair, dapat disarankan kepada Presiden untuk dibahas dalam Rapat Kabinet Terbatas dihadiri para Menteri yang terkait. Mudah-mudahan akan ada perubahan yang menuju pada peningkatan harmonisasi penyelenggara negara dalam melaksanakan Sistem Jaminan Sosial Nasional. hemat kami inilah upaya BPJS TK yang sangat maksimal, jika gagal  beban itu tidak lagi berada di pundak Management BPJS TK.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun