Dalam kaitan program JHT seusai dengan SJSN,  implementasinya diatur dalam Permenaker 19/2015 , khususnya terkait Tata Cara dan Syarat Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua, kerancuan regulasi tersebut sudah sangat rumit dan membingungkan. Lihat pasal 3, ayat (2) dan (3), bagaimana dengan 'halusnya' mengaitkan usia pensiun dengan pengunduran diri Peserta, dan Peserta terkena pemutusan hubungan kerja.  Jelas ayat (2) dan (3) tersebut tidak ada dalam pasal-pasal JHT di UU SJSN. Demikian juga lihat Pasal 5 dan Pasal 6  syarat usia pensiun menjadi kabur, dan batas 10 tahun sudah tidak ada bahkan kurang dari 5 tahun, dapat  ditafsirkan JHT dapat ambil. Kondisi  multitafsir tsb tentu akan menimbulkan kebingungan bagi penyelenggara BPJS Ketenagakerjaan di lapangan. Permenaker ini menurut berbagai kalangan patut diduga sebagai usaha pemerintah dalam hal ini Kementerian Tenaga Kerja untuk menenangkan Pekerja, dipihak lain memberi kelonggaran pengusaha untuk tidak membayar pesangon, karena sudah mendapat JHT, dengan alasan JHT tersebut, yang besar Iurannya 5,7%, sebesar 3,7% dari kantong pengusaha.
Bagaimana Solusinya?
Pertama sekali BPJS TK harus dimotivasi untuk berdiri tegak sama tinggi dengan lembaga pemerintah lainnya. Sama-sama melaksanakan amanat konstitusi, melindungi semua pekerja baik yang punya hubungan kerja ( mendapat upah) maupun pekerja yang tidak mempunyai hubungan kerja (tidak menerima upah). Jangan timbul atau dibebani mental inferior karena dulunya BUMN yang telah bertransformasi.
Optimalkan Dewan Pengawas BPJS TK, yang merupakan perwakilan pemilik (Owner)  yang terdiri dari unsur pekerja, pemberi kerja, pemerintah maupun ahli jaminan sosial, untuk melakukan penguatan kelembagaan melalui berbagai pendekatan dengan stakeholder dan mitra kerja terkait  sehingga timbul kesepahaman tentang posisi BPJS TK sebagai pemegang mandat menyelenggarakan Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Jajaran Direksi BPJS TK, harus bekerja keras melakukan pendekatan-pendekatan khusus kepada berbagai lembaga pemerintah yang terkait dengan 3 persoalan besar tersebut, agar tidak terjadi gagal paham terhadap keberadaan BPJS TK. Divisi Hukum BPJS TK didorong  terus-menerus (walapun mungkin sudah dilakukan), untuk berkoordinasi dan berkomunikasi dengan Kementerian Hukum dan HAM yang lingkup tugasnya mengharmonisasikan semua regulasi yang dikeluarkan, untuk duduk bersama dengan Biro Hukum lembaga pemerintah terkait agar dapat diuraikan dimana "kekusutan" itu terjadi.
Langkah berikutnya, jika semua jurus yang digunakan gagal total, Dewas dan Direksi BPJS TK, meminta waktu menghadap Presiden meng utarakan permasalah yang dihadapi serta implikasi hukum dan program. Dan agar prosesnya berjalan fair, dapat disarankan kepada Presiden untuk dibahas dalam Rapat Kabinet Terbatas dihadiri para Menteri yang terkait. Mudah-mudahan akan ada perubahan yang menuju pada peningkatan harmonisasi penyelenggara negara dalam melaksanakan Sistem Jaminan Sosial Nasional. hemat kami inilah upaya BPJS TK yang sangat maksimal, jika gagal  beban itu tidak lagi berada di pundak Management BPJS TK.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H