Mohon tunggu...
Aulia
Aulia Mohon Tunggu... Lainnya - Pendamping Belajar

Seorang pekerja migran yang beralih profesi menjadi pendamping belajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kisah Seorang BMI yang Mendapatkan Kekerasan dari Anak Majikan

25 Maret 2012   06:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:31 2136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1332655961616653544

Cerita ini berawal ketika saya sedang menjemput Chloe (anak yang saya asuh) pulang dari sekolahnya. Hari itu, sekitar pertengahan bulan Januari saya bertemu dengan seorang teman. Saya tak langsung berkenalan dengannya. Saat itu dia tengah bersama majikan dan seorang anak yang seumuran dengan Chloe. Stasiun MTR Kowloon Station. Di sanalah saya pertama kali bertemu dengannya. Dia berdiri tepat di depan saya saat kami tengah bersama-sama menantikan datangnya kereta. Saat dia menoleh, secara otomatis saya langsung melemparkan senyum padanya. Sudah menjadi kebiasaan saya di sini jika saya bertemu dengan teman-teman sesama BMI saya akan menyunggingkan senyum, say hai dan sedikit berbasa-basi seperlunya.

Tapi Oups! Mbak yang ada di depan saya tadi ternyata tidak membalas senyum saya. Malahan dia menunduk dan berdiri lebih merapat dekat dengan majikannya. Di situ saya baru tersadar dengan apa yang terjadi. Bukan cerita baru lagi kalau banyak majikan di Hong Kong tidak suka kalau pembantunya gingkai (ngobrol) dengan orang lain pada jam kerja. Dalam hati saya menebak, oh mungkin majikan mbak ini adalah salah satu dari mereka. Ya sudah saya mengerti.

Itu adalah pertemuan saya yang pertama dengannya. Di hari berikutnya saya bertemu lagi dengan mbak tersebut. Di tempat yang sama. Kali ini dia sendirian. Dia menyapa dan berjalan mendekati saya.

"Mbak maaf ya, kemarin saya nggak berani mbales senyuman mbak. Ada majikan saya. Saya takut mbak!" "Owh nggak papa kok mbak, saya bisa mengerti." Lantas kami pun saling berkenalan. Di dalam kereta, dia berkata kalau selama ini dia sering memperhatikan saya dari kejauhan. Dia bilang, dia sering melihat Chloe mencium pipi saya. Terkadang Chloe juga merebahkan tubuhnya di pangkuan saya. "Owh, kalau Chloe nyium pipi saya itu kalau dia ada maunya Mbak. Biasanya dia ngerayu agar di-ijinin main Bubble Bird dari hp saya." Jawab saya sambil mengerlingkan mata ke arah Chloe yang sedang sibuk memencet-mencet keypad BB. Tiba-tiba si mbak-nya diam. Tertunduk lesu.

Begitulah awal perkenalanku dengan Mbak Heni (bukan nama sebenarnya). Setelah pertemuan yang kedua, hari-hari selanjutnya bisa dikatakan saya selalu satu kereta dengannya. Lambat laun dia mulai bercerita tentang beban yang dia rasakan selama bekerja di sini. "Andai anak yang saya asuh seperti Chloe, pasti saya tak akan merasakan kesedihan ini mbak." "Memangnya anaknya kenapa mbak?" Mbak Heni lantas bercerita tentang anak yang diasuhnya. Sebut saja Chen-chen (bukan nama sebenarnya). Menurut apa yang diceritakannya, Chen-chen adalah anak yang suka main tangan pada pembantu. Padahal umurnya belum genap 7 tahun. Dari awal kedatangan mbak Heni ke flat mereka, Chen-chen sudah menunjukkan ketidaksukaannya. Mulai dengan mengacak-acak laci baju mbak Heni, melemparinya dengan mainan, menyemprotkan makanan dari mulutnya ke muka mbak Heni dan memukul dada mbak Heni. Semua perbuatannya itu dilakukan saat orang tuanya tidak berada di rumah.

Mendengar penuturan Mbak Heni, saya menyarankan kepadanya untuk mengadukan perbuatan Chen-chen kepada orang tuanya. Mbak Heni mengaku takut. Dia takut nanti dipecat. Dia masih ingin bekerja.

Setiap waktu berpapasan dengannya (kadang sendiri, kadang bersama majikan dan anaknya), Mbak Heni selalu terlihat murung. Bahkan sekali waktu saya pernah melihat mata kirinya terlihat lebam. Seperti bekas di pukul. Secara tak sengaja keesokan harinya ketika saya bersama Chloe tengah antri di kasir di supermarket Three Sixty Elements Kowloon Station, saya melihat mbak Heni berjalan melintas. Langsung saja saya ajak Chloe untuk keluar dari antrian demi mengejar mbak Heni.

Dan akhirnya saya bisa mengorek keterangan darinya. Tentang lebam di matanya. Berawal dari pengaduannya ke majikan tentang perlakuan Chen-chen kepadanya. Bukannya mendapat simpati, majikannya malahan bersikap dingin. Pun si majikan juga tidak menegur anaknya. Respon orang tua yang seolah-olah mengamini tindakan kekerasan anaknya terhadap pembantu inilah yang kemudian berakibat fatal. Si anak bukannya berhenti "menganiaya" mbak Heni, tetapi justru semakin menjadi-jadi. Dan lebam di mata kiri mbak Heni adalah hasil dari tamparan tangan Chen-chen. Lagi-lagi orang tuanya juga diam saja.

Prihatin dan sedih. Itulah yang saya rasakan. Saya bisa merasakan penderitaan yang dialami mbak Heni. Cerita-cerita semacam ini juga sering saya dengar dari BMI-BMI yang lain. Sebagai seorang teman, saya lantas menyarankan mbak Heni untuk melaporkannya kepada agen-nya. Mbak Heni menjawab sudah. Iya, Ia sudah melaporkannya ke agen. Tetapi agen hanya memintanya untuk bersabar, dan menyarankan mbak Heni agar lebih berusaha lagi mengambil hatinya Chen-chen. Sayapun terdiam. Terbersit dalam benak saya untuk menyarankannya agar melaporkan saja ke polisi. Tapi niat ini saya urungkan. Karena masalah seperti ini kalau sudah berada di tangan polisi, urusannya akan panjang. Polisi jelas akan membantu mbak Heni. Tetapi selama proses hukum berlangsung, mbak Heni akan keluar dari pekerjaannya. Dan tentu saja ini akan merugikan mbak Heni karena secara otomatis, dia tidak akan mendapatkan gaji. Saya tahu hal inilah yang tidak diinginkannya. Sebagai gantinya, sebagai wujud kepedulian, saya memberikan nomor hp saya kepadanya. Saya bilang, jangan ragu untuk menghubungi saya kalau mbak Heni butuh bantuan.

Seminggu berlalu, saya tak lagi menjumpai mbak Heni. Saya juga tidak punya nomor hp nya. Oya saya lupa menceritakan kalau mbak Heni masih baru di Hong Kong. Dia baru menjalani masa kerjanya kurang lebih 1 setengah bulan. Dan sesuai perjanjian dengan majikannya, dia baru boleh menggunakan hp setelah selesai masa training-nya (3 bulan).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun