Jurnalisme keberagaman akan mulai diterapkan pada dunia media, seperti yang disebutkan Usman Kansong dalam acara bedah buku Jurnalisme Keberagaman selaku penulis dan bekerja sama dengan beberapa pelaku media di Yogyakarta dan bertempat di Kampus 4 Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Jurnalisme keberagaman juga merupakan hal yang baru dalam dunia jurnalisme. Media diharapkan dapat menerapkan jurnalisme keberagaman pada setiap berita yang disajikan.
Jurnalisme keberagaman menurut Usman Kansong (2017) yaitu keragaman dan perbedaan dari suatu hal. Dalam acara tersebut dibahas secara mendalam mengenai isi dari buku serta pandangan-pandangan dari pelaku media mengenai jurnalisme keberagaman yang baru ada di dunia jurnalisme. Pemahaman jurnalisme keberagaman masih dianggap minim dalam dunia media beserta pelaku media, sehingga pembelajaran dapat diterapkan pada pelaku media. Hal ini diharapkan agar jurnaslisme keberagaman dapat melekat pada setiap hal yang dilakukan oleh pelaku media termasuk pada berita yang dibuat.
Jurnalisme keberagaman ini merupakan hal baru di bidang maupun dunia jurnalistik sehingga hanya sedikit bahkan belum ada pembahasan mengenai hal ini. Masalah utama dalam dunia media saat ini yaitu keberpihakan atau dominasi yang dilakukan media terhadap kelompok mayoritas pada suatu isu tertentu. Dominasi dan keberpihakan ini harus diatasi oleh media dengan mengikuti kode etik jurnalistik yang ada agar tercipta suatu keberagaman dalam masyarakat, hal ini disampaikan oleh Lukas Ispandriarno dari sisi akademis selaku dosen Atma Jaya Yogyakarta.
Tanggapan lain juga disampaikan oleh Widiarsi Agustina selaku Ka Biro Tempo DIY & Jateng. Beliau mengatakan bahwa seorang jurnalis harus bebas, bebas dalam artian tidak sembarang hal dapat dipublikasikan kepada masyarakat. Namun, bebas dalam hal berpikir dan mengolah konten bagi masyarakat. Independensi dan pola pikir yang terbuka sangat penting untuk dimiliki oleh seorang jurnalis.
Widiarsi juga mengatakan bahwa terdapat 2 jenis pemikiran yang harus direnungi oleh wartawan, yaitu jurnalis yang bekerja dan jurnalis yang memahami profesi. Jurnalis yang bekerja diartikan bahwa seorang jurnalis yang masuk dalam industri dan mengikuti sistem produksi suatu perusahaan. Kedua, jurnalis yang memahami profesi diartikan bahwa seorang jurnalis yang taat pada kode etik jurnalistik dalam melakukan pemberitaannya.
Tanggapan lain disampaikan oleh Agnes Dwi Rusjiyati dari Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika. Beliau mengatakan “Seorang jurnalis bahkan banyak media yang tidak berani dalam mengungkap fakta sehingga menghambat informasi bagi publik”.
Lalu ada 3 harapan bagi media saat ini yang diungkapkan oleh ibu Agnes Dwi. Pertama, agar seorang jurnalis lebih banyak belajar untuk menghadapi media-media yang ada. Kedua, agar media berani untuk memberitakan fakta dan tidak memiliki stigma bagi kaum minoritas dengan kata lain tidak menutup ruang. Ketiga, agar media tidak menutup ruang bagi kelompok minoritas dalam berpendapat menanggapi isu tertentu. Hal ini tentu saja bertujuan agar berimbang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H