Waktu dan usia, kehidupan dan pilihan
Menikmati masa muda bersama teman-teman
Hingga lupa akan usia sudah semakin menua
Menikahpun tak dipikirkan
Kata-kata ini sebagai bagian dari refleksi saya di bulan kelahiran atas yang sudah terjadi dalam hidup. Dengan kesadaran dalam diri bahwa saya tidak lagi muda, saatnya untuk memikirkan kehidupan untuk menikah. Bulan Maret sebagai bulan special bagi saya, di bulan ini tanggal delapan saya berulang tahun ke dua puluh Sembilan. Di usia yang ke dua puluh Sembilan ini, Ibu selalu meminta saya untuk menikah di usia yang cukup matang kalau untuk menikah. Nasihat yang menohok dari ibu saya adalah:
Nak ingat laki-laki di kampung yang usia dibawa kamu sudah menikah
Bahkan ada yang sudah memiliki dua orang anak
Kapan kamu menikah, ingat juga akan keturunanmu nanti
Kalau kamu menikah di usia tiga puluhan tahun
Saat anakmu SMA, kamu menjemputnya, teman-temannya pikir kamu kakeknya
Tentu karena beruban, wajah keriput
Kata-kata dari ibu saya ini menyadarkan saya akan usia saya sekarang yang tidak lagi muda. Saya mungkin terlena dengan waktu dan keasyikan dalam dunia kerja dan bergaul bersama teman-teman yang belum menikah. Sehingga yang saya pikirkan hanya dunia kerja dan refreshing bersama teman-teman. Dari perkataan ibu saya, saya merenungkan bahwa betapa benar dari yang disampaikannya. Saya juga memahami bahwa ibu tentu menginginkan mengendong cucu dan bermain bersama cucu atau anak saya nantinya. Itu sudah pasti. Harapan terselubung dari ibu yang tidak disampaikan kepada saya.
saya juga bertanya pada diri sendiri, mengapa belum berani menikah selama ini? Dari pertanyaan ini, saya kembali akan kehidupan saya diusia yang ke dua puluh lima tahun. Waktu itu saya, masih di tempat kuliah dan mengundurkan diri dari calon pastor. Peristiwa ini terjadi di tahun 2021, saya memutuskan untuk tidak melanjutkan pembinaan untuk menjadi pastor dan lebih memilih menjadi awam. Dengan berbagai alasan-alasan pribadi. Setelah memutuskan untuk hidup sebagai awam, belum juga menikah. Oh iya, sedikit pemberitahuan, kalau pastor dalam gereja katolik itu tidak menikah iya.
Dari usia yang ke dua puluh lima tahun saya justru lebih asyik berkumpul bersama teman-teman. Saya merasa bahwa saya menemukan kebahagiaan bersama mereka. Bisa jalan sesuka hati, nongkrong dan bercerita dengan penuh kebahagiaan. Akan tetapi, perkataan ibu saya membuat saya tersadarkan dan sedikit menyesal. Saya menyesal karena tidak menikah di bawa usia dua puluh Sembilan tahun. Mengapa saya menyesal? Bagi orang yang tidak paham akan kondisiku, tentu akan bertanya seperti ini. Saya akan menjawabnya. Saya menyesal, karena ayah saya dan saudari saya yang sangat saya cintai sudah dipanggil Tuhan tahun lalu. Saya menyesal sebab mereka tidak hadir dalam pernikahan saya nantinya. Inilah momen terberat yang saya rasakan diusia yang saat ini. Waktu ayah saya masih sehat, dia sempat mengatakan: