Mohon tunggu...
Charlotte PBandono
Charlotte PBandono Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Batuah Barajaki

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

(Kreanova) CornBon: Serap Karbon Hasilkan Pangan!

11 November 2024   22:16 Diperbarui: 11 November 2024   22:18 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Sumber Gambar: Ilustrasi Pribadi

Curah hujan yang tidak menentu secara nyata menyebabkan dampak buruk bagi pertanian. Kasusnya telah terjadi di beberapa wilayah Indonesia. Melansir dari situs berita BBC News Indonesia, kekeringan yang dipicu oleh curah hujan yang tidak menentu menyebabkan kegagalan panen usaha tani warga Distrik Amuma, Yahukimo, Provinsi Papua Pegunungan pada bulan Oktober hingga November 2023. Hal tersebut menyebabkan sebanyak 23 orang meninggal dunia karena kelaparan. Menurut penelitian Stevanovic, dkk. (2016), kehilangan hasil panen dapat meningkatkan harga makanan dan memiliki efek yang sangat besar pada kesejahteraan manusia secara global. Penelitian tersebut juga memprediksi kerugian Produk Domestik Bruto (PDB) global  akibat gagal panen masa depan sebesar 0,3% setiap tahunnya pada tahun 2100.

Ragam dampak buruk akibat perubahan iklim diakibatkan oleh berbagai aktivitas manusia. Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2014 melaporkan perubahan signifikan iklim global adalah hasil aktivitas manusia yang semakin meningkat dalam beberapa dekade terakhir. Berdasarkan penelitian Huang, dkk. (2016), aktivitas manusia seperti penggunaan mekanisasi berbasis bahan bakar yang tinggi, pembakaran sisa-sisa pertanian, pembakaran bahan bakar fosil, dan deforestasi menjadi penyebab utama terjadinya bencana iklim. Berbagai  aktivitas tersebut menghasilkan Gas Rumah Kaca (GRK), salah satunya adalah emisi karbon dioksida (CO2) yang merupakan polutan penyumbang proporsi terbesar GRK. 

Laporan oleh Friedlingstein, dkk. dalam Global Carbon Project tahun 2023 menyebutkan bahwa emisi CO2 global tahun 2023 mencapai 36,8 miliar ton. Laporan ini juga memaparkan Indonesia sebagai salah satu dari sepuluh negara penghasil CO2 terbesar di dunia dengan emisi sebesar 930 juta ton. Hal tersebut memperbesar peluang dampak buruk perubahan iklim di Indonesia. Dengan demikian diperlukan upaya mitigasi untuk menekan produksi emisi GRK di Indonesia.

Mitigasi perubahan iklim merupakan rangkaian tindakan pencegahan yang dilakukan untuk mengurangi tingkat emisi gas rumah kaca, sebagai langkah dalam mengatasi dampak perubahan iklim (Ramadhani dan Hubeis, 2020). Upaya mitigasi telah ditindaklanjuti secara serius oleh Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Program RAN-GRK diluncurkan sejak tahun 2011 dan pertanian menjadi salah satu dari lima sektor utamanya. Progres RAN-GRK dipantau melalui Aplikasi Perencanaan dan Pemantauan Rencana Aksi Nasional Rendah Karbon (AKSARA). Upaya mitigasi yang terpantau AKSARA dari tahun 2011 hingga 2020 telah memberikan hasil yang signifikan, terutama di sektor pertanian.

Dalam sektor pertanian, pencapaian mitigasi terutama berasal dari subsektor tanaman pangan dan peternakan. Hal ini terlihat dari penggunaan varietas rendah emisi di lahan sawah serta penerapan program Unit Pengolah Pupuk Organik (UPPO) dan Biogas Asal Ternak Masyarakat (BATAMAS). Meskipun sebelumnya terdapat kegiatan lain yang dianggap sebagai aksi mitigasi di sektor pertanian, seperti metode System of Rice Intensification (SRI) dan Program Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), namun kegiatan-kegiatan tersebut tidak lagi menjadi prioritas bagi Kementerian Pertanian. Berdasarkan data AKSARA tahun 2021, kontribusi sektor pertanian dalam penurunan emisi GRK terefleksi dalam capaian potensi penurunan emisi GRK kumulatif sebesar 11.676,74 Gg CO2-eq. Capaian ini berada dalam kisaran antara 11 hingga 16.000 Gg CO2-eq hingga tahun 2020.

 Peningkatan keberhasilan program RAN-GRK dapat dipercepat melalui pertanian karbon. Menurut Samosir (2024), pertanian karbon mengacu pada prinsip-prinsip agro-ekologi, pemeliharaan alam secara berkelanjutan, peningkatan kesejahteraan petani, dan pelestarian lingkungan. Berdasarkan penelitian Tariq, dkk. (2023), pertanian karbon mencakup beragam teknik pertanian  seperti  pertanian tanpa olah tanah, agroforestri, rotasi tanaman, pertanian organik, penggunaan tanaman tahunan, penggunaan biochar, kompos, dan pengembunan. Rangkaian teknik tersebut dirancang untuk menangkap karbon dari atmosfer dan menyimpannya dalam tanah maupun tegakan tanaman. Aneka praktik tersebut terbukti dapat mempercepat pengurangan CO2 dari atmosfer dan memfasilitasi penyimpanannya di vegetasi dan tanah.

Selain mampu mempercepat keberhasilan program RAN-GRK, pertanian karbon juga selaras dengan program pemerintah yang akan datang. Sebagaimana yang disampaikan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia terpilih periode 2024-2029, Gibran Rakabuming Raka, dalam debat calon wakil presiden (cawapres), visi dan misi pembangunan lingkungan ke depan akan berfokus pada program Carbon Capture and Storage (CSS). CSS merupakan rangkaian proses penangkapan (capture) CO2 dari sumber emisi gas buang (flue gas), pengangkutan CO2 tertangkap ke tempat penyimpanan (transportation) dan penyimpanan (CO2) ke tempat yang aman (Kementerian ESDM, 2009). Pertanian karbon mampu memfasilitasi rangkaian proses CSS di lahan pertanian.

 

Berbagai cara dapat dilakukan untuk mendukung pertanian karbon, salah satunya dengan  penerapan sistem CornBon. CornBon merupakan strategi penerapan pertanian karbon pada budidaya tanaman jagung. Pengolahan lahan tanaman jagung pada sistem CornBon mesti mempraktikkan olah tanah minimum. Tanah mengandung karbon dalam berbagai bentuk organik, seperti serasah tanaman, dan arang (Johnson, 2018). Penelitian Gougoulias, dkk. (2014) mengungkapkan aktivitas manusia pada lahan pertanian seperti menggemburkan tanah secara intensif dapat melepaskan karbon yang tersimpan di dalam tanah ke atmosfer dalam bentuk CO2. Dengan demikian olah tanah minimum dapat menekan emisi karbon pada lahan.

Selanjutnya penanaman jagung harus menerapkan sistem  tumpang gilir (relay cropping). Menurut Behnke, dkk. (2018), penerapan sistem ini mampu mengurangi jumlah emisi CO2 pada lahan pertanian. Tumpang gilir tanaman jagung dengan tanaman legum yang memiliki periode pertumbuhan dan panen berbeda membuat lahan selalu diisi oleh tanaman hidup, yang secara aktif menyerap CO2 melalui proses fotosintesis. Dengan demikian penyerapan karbon pada lahan diserap terus-menerus. Contoh praktik tumpang gilir yang dapat diterapkan yakni menanam kacang kedelai di lahan yang sama pada saat tanaman jagung pada lahan berumur 3 minggu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun