Diskursus tentang karakter, memang akhir-akhir ini menjadi sorotan dan seringkali diseret dalam ruang dialektika dan bahkan menjadi ruang diskursus publik dalam berbagai macam kesempatan.
Tema karakter juga merupakan tema yang sangat serius diperbincangkan dan diperdebatkan dalam ruang publik terlebih ketika melihat potensi dan tantangan zaman yang semakin hari semakin berubah, dan era revolusi 4.0 yang akan, dan sedang dihadapai oleh generasi muda atau yang disebut sebagai generasi milenial hari ini menjadi tantangan tersendiri yang semakin hari kian kompleks manakala tidak dipersiapkan dan diarahkan dengan baik.
Analisis mengenai perkiraan Bonus demografi Indonesia pada tahun 2030 mendatang merupakan suatu kesempatan dan potensi yang luar biasa bagi anak muda untuk mengisi disegala sektor dan segala bidang, tetapi juga bisa menjadi malapetaka jika tidak dipersiapkan dari sekarang maka akan menjadi beban tersendiri yang sangat berat bagi generasi muda untuk memikulnya dikemudian hari, artinya jika karakter generasi muda hari ini tidak diperhatikan, maka akan semakin berat tantangan yang akan dihadapi oleh mereka nantinya.
Pengantar umum dan singkat yang saya sampaikan diatas mengajak kita untuk sedikit membuka ruang untuk berdiskusi secara serius tentang hal ini.
Orangtua dan karakter Anak.
Berbicara tentang karakter anak, yang diamati sejauh ini, Â Banyak orangtua melepaskan tanggungjawab mereka dalam melakukan pendampingan, terlebih ketika anak mereka berusia sekolah. Peran orangtua dewasa ini semakin hari seakan mulai berkurang dengan alasan bahwa mereka telah menyekolahkan anaknya di suatu lembaga sekolah, dan menyerahkan sepenuhnya kepada sekolah untuk mendidiknya secara penuh termasuk tentang karakter anak.
Terkadang, kesalahan berpikir yang selama ini terjadi di keluarga dan kebanyakan orangtua saat ini adalah, orangtua hanyalah memberi nafkah dan memenuhi kebutuhan anak-anaknya, sedangkan kebutuhan pendidikan, perkembangan psikologi dan perkembangan intelektual seorang anak diserahkan sepenuhnya ke sekolah.
Padahal jika kita cermati dan kritisi dengan baik, orangtua sebetulnya tidak hanya hadir sebagai fasilitator dalam Segala macam kebutuhan anak, tetapi orangtua juga harus mampu menjadikan diri mereka sebagai katalisator yang dapat memacu dan merangsang pertumbuhan dan perkembangan anak.
Dalam berbagai macam kasus misalnya, ada anak yang tidak mempunyai kematangan emosional yang bagus dari rumah, seperti contoh nakal dan lain sebagainya yang tidak mampu dibendung oleh sekolah bahkan sampai dengan mengeluarkan anak tersebut, pada tahap ini ada juga orangtua dan masyarakat yang bahkan menyalahkan sekolah Karena tidak mampu mendidik anak tersebut untuk menjadi baik.
Kesalahan berpikir seperti inilah yang semestinya harus disadari dari sekarang, terlebih berbicara tentang karakter anak.
Berhasilnya pendidikan anak ditentukan oleh kerjasama antara sekolah dan orangtua.Â
Orangtua harus menjadi dasar dan pijakan utama dalam mendukung perkembangan mentalitas dan karakter anak yang kemudian ketika anak berada di sekolah, anak tersebut bisa diarahkan diberikan pengetahuan kognitif lainnya. Peran orangtua haruslah lebih besar dalam mengasah kematangan emosional anak, dan yang tidak kalah penting adalah perlu adanya pengenalan akan nilai-nilai Budi pekerti, kebudayaan dan semangat gotong royong agar anak tersebut mempunyai bekal untuk bersosialisasi disekolah, atau di mana saja dia berada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H