Sidang Paripurna DPR tanggal 25 September 2014 memutuskan bahwa pemilihan kepala daerah (pilkada) akan dilaksanakan oleh DPRD. Berbagai pembenaran disampaikan oleh pendukung pilkada oleh DPRD. Salah satu pembenarannya adalah bahwa banyak kepala daerah yang dipilih langsung terlibat korupsi. Alasan lainnya adalah besarnya biaya pilkada langsung.
Pembenaran diatas jelas yang terlalu dibuat-buat dan sangat argumentatif. Apakah ada jaminan bahwa jika kepala daerah dipilih oleh DPRD akan bebas korupsi? Jawabannya jelas tidak. Anggota DPRD sendiri “dipilih langsung” oleh rakyat dengan menampilkan nama dan foto calon legislatif pada lembar suara. Jika justifikasi di atas adalah benar, maka banyak anggota DPRD sendiri (akan) banyak yang korup. Lantas, bagaimana mungkin sebuah lembaga yang korup akan menghasilkan kepala daerah yang bersih?
Persoalan korupsi dan cara memilih adalah dua ranah yang berbeda. Masalah korupsi utamanya terkait dengan moral dan integritas serta hukum. Standar dan keteguhan moral dan integritas berada pada ranah pribadi seseorang. Artinya, korupsi atau tidak korupsinya seseorang akan dimulai dan ditentukan dari dirinya sendiri. Siapapun dapat melakukan tindakan korupsi jika niatnya sudah begitu.
Sedangkan hukum dan penegak hukum merupakan “pagar dan pengawas” agar seseorang tidak melakukan korupsi. Jika pagarnya gampang dibengkokkan atau kalau dipanjat hanya akan menyebabkan lecet-lecet ringan saja, maka semua orang tidak akan takut melakukan korupsi. Begitu juga jika pengawasnya tidur atau pura-pura tidur terus.
Jika memang serius ingin memberantas korupsi termasuk memberantas politik uang dalam pilkada, maka DPR seharusnya berinisiasi untuk memperkuat dan meninggikan pagar tersebut dengan memperberat hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi, bahkan sampai pada hukuman mati. Selain itu mereka harus mempermudah akses penegak hukum untuk memeriksa orang-orang yang diduga korupsi, termasuk anggota DPR sendiri. Itu jauh lebih penting daripada mengutak-atik undang-undang pilkada.
Selain itu badan legislatif juga menyetujui dan mengawasi anggaran pemerintah. Bahkan mereka juga diperbolehkan mengusulkan program-program kerja untuk dilaksanakan pemerintah, walaupun umumnya program yang diusulkan terkait dengan kepentingan mereka dengan daerah pemilihannya. Jika kepala daerah terlibat korupsi, maka secara moral badan legislatif seharusnya ikut bertanggung jawab.
Pembenaran dari sisi pandang biaya juga sangat dapat diperdebatkan. Biaya yang dikeluarkan pemerintah maupun perorangan untuk kegiatan pemilu akan memberikan efek pengganda (multiplier effect) dari kegiatan ekonomi yang terkait pemilu. Sebaliknya, berapa besar kira-kira kerugian negara jika misalnya pejabat eksekutif melakukan kongkalikong dengan anggota legislatif dalam menentukan program-program?
Lagipula, apakah mereka layak untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin pemerintahan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H