Masih terkait dengan UU Pilkada yang disetujui DPR tanggal 25 September 2014 yang lalu, sangat mengherankan jika sebagian wakil rakyat dari partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih mengatasnamakan kepentingan rakyat untuk menyetujui UU tersebut.
Hal ini tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Sebagian besar pandangan masyarakat yang disampaikan melalui berbagai media sosial mendukung pilkada langsung. Ini ditunjukan oleh beberapa hashtag di twitter yang menjadi trending topic bukan saja di Indonesia tapi di dunia antara lain #ShameOnYouSBY, #ShameByYou dan #WelcomeMrLiar. Survey yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) di awal September 2014 mengindikasikan bahwa 81,25 persen responden mendukung Pilkada langsung. Bahkan kader dan pendukung partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih pun lebih banyak yang menginginkan pilkada langsung. (klik disini)
Bukan hanya sebagian besar rakyat, lembaga-lembaga negara dan organisasi non pemerintah juga mendukung atau setidaknya condong ke sistem pilkada langsung. Mereka itu antara lain:
1. Presiden RI. Presiden SBY mengatakan bahwa UU Pilkada Tidak Benar dalam Logika Demokrasi. Selanjutnya selaku Presiden, SBY mengatakan bahwa berat baginya untuk menandatangani UU Pilkada (27/09/14).  klik disini
2. KPK. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto (25/09/14) menilai, pemilihan kepala daerah melalui DPRD berpotensi terjadinya korupsi yang sistematis jika kredibilitas partai politik buruk (25/09/14). klik disini
3. DPD. Ketua DPD Irman Gusman (29/09/14) menyampaikan bahwa DPD pada dasarnya tetap ingin pemilihan langsung dengan perbaikan-perbaikan untuk memperbaiki demokrasi kita (29/09/14). klik disini
4. Komisi Pemilihan Umum (KPU). Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay mengatakan mendukung pilkada langsung dan melakukan perbaikan pada prosesnya (21/09/14). klik disini
5. DKPP. Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie mengatakan mengatakan bahwa dengan dirubahnya UU Pilkada secara drastic, terkesan ada set back dalam pengelolaan negara (27/09/14). klik disini
6. Asosiasi Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) yang beranggotakan lebih dari 500 kepala pemerintahan kota di Indonesia melalui ketuanya Ridwan Kamil menyampaikan akan mengajukan judicial review terhadap UU Pilkada  ke Mahkamah Konstitusi (26/09/14). klik disini
7. Indonesian Corruption Watch (ICW). Koordinator ICW, Abdullah Dahlan  mengatakan bahwa korupsi kepala daerah bukan karena pilkada langsung melainkan dari pola rekrutmen yang tidak baik oleh partai politik. Pilkada melalui DPRD tidak menjamin hilangnya praktik korupsi. Menurut dia, kepala daerah bisa saja melakukan persekongkolan dengan anggota DPRD. klik disini
Karena itu sangat mengherankan jika sebagian besar anggota DPR yang tergabung dalam KMP, yang katanya mewakili rakyat, tidak dapat mendengar, mengetahui dan memahami kecenderungan (trend), hasil survey ilmiah, dan pendapat dari lembaga-lembaga resmi negara yang tentunya  sangat kredibel di atas. Belum lagi anggota masyarakat lain baik secara individu, kelompok, maupun origanisasi (klik disini). Entah metodologi pengumpulan pendapat bagaimana dan suara siapa yang mereka dengarkan sehingga sampai kesimpulan bahwa rakyat menghendaki pilkada lewat DRPD.
Jika pada akhirnya masyarakat melakukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melakukan judicial review terhadap UU Pilkada, maka penulis mengharapkan agar MK melakukan pertimbangan yang cermat yang berdasarkan hati nurani dalam membuat keputusan tentang persoalan ini. Akhirnya, rakyat  hanya bisa berharap dan berdoa, karena Tuhan tidak pernah tidur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H