Ukuran hidup manusia,bila mengacu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 60 tahun itu masuk kategori lanjut usia (elderly). Itulah usia pensiun. Saat raga semakin menua sehingga tenaga tak bisa terlalu dipaksa lagi untuk berproduksi.
Sebaliknya bagi sebuah korporasi seperti PT Bank Central Asia tbk (BCA), 60 tahun itu ibaratnya masa remaja. Saat penuh semangat, dan gairah sedang meluap-luap. “Seperti pacaran itulah saat sedang jadi-jadinya,”ungkap Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja.
Hal tersebut diakui Jahja pada perayaan Ulang Tahun ke-60 bank swasta terbesar di Indonesia itu di Breakout Area, Menara BCA Lantai 22, Jakarta Pusat, Rabu (22/02) siang ini. Sejatinya hari jadi BCA jatuh saban 21 Februari kemarin. Lantaran ada satu dan lain hal perayaan tersebut baru terselenggara hari ini.
Pada perayaan itu,peraih penghargaan CEO of the Year 2016 itu ditemani jajaran direksi (board of director) BCA. Tidak banyak yang diundang karena acara tersebut diniatkan berlangsung sederhana dan terbatas. Sementara keluarga besar BCA di seluruh Indonesia dihubungkan melalui teleconference.
Acara itu dibuka dengan sajian makanan lokal seperti soto dan sate ayam sambil dihibur oleh band accusticinternal dari karyawan BCA. Ruangan yang tak seberapa luas itu secara efektif dipakai hingga tak tersisa ruang kosong. Di salah satu sisi berjejer beberapa laptop yang ditemani sejumlah karyawan yang sigap menjawab pertanyaan pengunjung dan siap beraksi saat diminta mengambil gambar. Layar LED raksasa membentang di bagian depan diapiti logo besar 60 tahun BCA yang bersisian dengan tumpeng berukuran besar.
Layar besar itu tergerai manfaatnya saat Jahja berbicara.Ia sedikit meringkas perjalanan BCA sejak berdiri pada 1957 silam, terutama beberapa periode penting yang menandai masa terang dan gelap perusahaan. Pada 1988 BCA mulai meluaskan ekpansinya dengan membuka banyak cabang. Adanya relaksasi peraturan perbankan memungkinkan pembukaan kantor cabang dengan mudah. “Pada waktu itu sampai keteteran karena kekurangan orang,” tandasnya.
Persoalan datang pada 1997 dan 1998. Dimulai dengan isu miring tentang meninggalnya pemilik sebelumnya pada 1997. Dampaknya, kata Jahja, “terjadi rush kecil-kecilan.”
Setelah persoalan kecil itu terselesaikan muncul lagi tantangan baru.Pada November 1997 sebanyak 16 bank dilikuidasi karena performa buruk. Saat itu, menurut Tjahja, belum ada Lembaga Penjamin Simpanan, sehingga nasabah berbondong-bondong beralih ke bank pemerintah dan BCA. “Dana kita meningkat luar biasa dari nasabah baru,” tandasnya.
Namun “masa panen” itu segera berubah menjadi paceklik pada Mei 1998. Gejolak politik dalam negeri berdampak pula pada BCA. Ketidakpercayaan, terutama dari para nasabah baru yang belum lama bergabung dengan BCA, luntur termakan isu politik. Arus balik pun terjadi. Banyak nasabah baru menarik semua dananya dari BCA. BCA terjerembab.
“Singkat kata BCA diambil alih BPPN,” bebernya. Namun beberapa bulan kemudian dana-dana yang keluar kembali masuk. Bahkan setahun kemudian, BCA mulai untung. “Tidak ada bank yang mengalami masalah langsung cepat profitable,”akunya.
Anak-anak kekinian