Flores. Apakah dikenal di Indonesia dan dunia? Bisa ya, sepanjang namanya tertera dalam daftar 17.508 pulau di Nusantara dan salah satu pulau dengan delapan kabupaten yang berada dalam pangkuan provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), satu dari 34 provinsi di Indonesia.
Lebih lanjut, seberapa terkenal Flores itu? Dengan tanpa berpanjang makna, patut diakui, ikhwal yang satu ini Flores senasib sepenanggungan dengan ‘sang induk’, NTT. Kepopulerannya terwakili dalam seabrek predikat miris, yang kadang sulit terbantahkan, yakni ketertinggalan hampir dalam semua dimensi kehidupan.
Flores khususnya dan NTT umumnya adalah potret keterbelakangan dengan angka kemiskinan yang terus meningkat. Pada tahun 2015, angka kemiskinan NTT mencapai 22,56 persen dari 19,06 persen pada tahun sebelumnya (TribunNews.com, 20 April 2016).
Tingkat pertumbuhan ekonomi yang melambat, mengantar provinsi ini ke dalam jurang tiga besar provinsi termiskin di Indonesia, setelah Papua dan Papua Barat. Dengan tanpa berpanjang-panjang, satu indikator itu, dengan sendirinya membuat kita mafhum mengapa perkembangan sektor lain setali tiga uang.
Namun, ketertinggalan tersebut bukan harga mati yang harus diterima dan dipikul dengan tawakal. Flores bukan pulau tanpa penghuni yang akan tinggal tetap begitu saja.
Sejak ditemukan secara tak sengaja oleh Antonio de Bareu dan Francisco Serrao yang memimpin ekspedisi Portugis pada 1511, seperti nama yang diberikan, Flores memiliki potensi. Potensi itu tak hanya seperti yang terlihat oleh Segnor Cabot, salah satu anggota dalam rombongan ekpedisi itu yang kemudian menyebut tempat itu ‘Cabo da Flora”, bila di-Indonesia-kan menjadi “Tanjung Bunga”, lantaran bertemu biota laut yang indah seperti gugusan bunga kala menyelam memberbaiki kapal mereka yang kandas.
Di atas tanah pun Flores memiliki pesona. Tak sebatas yang mereka temukan sekilas saat itu: hamparan padang savana yang dihuni penduduk ‘primitif’ yang kemudian ditaburi benih-benih Kristiani. Hamparan savana yang membentang di atas wilayah seluas 13.540 km2 itu ternyata menyembunyikan pesona alam yang luar biasa. Nama Flores yang dipakai secara resmi oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hendrik Brouwer sejak tahun 1636, seakan menegaskannya.
Namun, pertanyaan kemudian, mengapa potensi tersebut tetap tinggal potensi? Mengapa Flores seakan tak terjamah hingga kini? Uraian panjang dibutuhkan untuk menjawabnya, sepanjang sejarah bergabungnya NTT dengan wilayah Propinsi Sunda Kecil pada 1951 hingga menjadi daerah otonom tujuh tahun kemudian.
Turnamen balap sepeda internasional Tour de Flores yang dihelat pada 19-23 Mei 2016 menjadi momentum yang pas untuk menempatkan Flores pada titik yang semestinya. Ajang tersebut menjadi satu dari sekian kemungkinan yang bisa ditempuh untuk mengangkat pamor Flores dan memanggungkannya baik ke tingkat nasional maupun internasional.
Sebanyak 20 tim dari sepuluh negara (termasuk Indonesia) datang tidak hanya untuk melahap 661,5 kilometer yang terbagi dalam lima etape di jalur utama lintas Flores. Para jagoan pengayuh sepeda itu tidak sema-mata ingin memenangkan miliaran rupiah (dari total hadiah 7-8 miliar) sebagai ganjaran memenangkan ajang balap sepeda dengan grade 2.2 itu. Mereka datang membawa serta kerinduan untuk melahap pesona Flores secara langsung.