Roda sepak bola dalam negeri yang kembali bergeliat setelah setahul lebih mati suri semakin diterpa angin segar setelah tim nasional Indonesia kembali tampil di pentas internasional. Kemenangan telak atas Harimau Malaysia beberapa waktu lalu menjadi titik balik bagi persepakbolaan dalam negeri.
Namun perjalanan sepak bola Indonesia seakan baru dimulai setelah berbulan-bulan karam ke titik nadir. Hal tersebut semakin diperkuat dengan tuntutan reformasi ke semua lini persepakbolaan kita. Tak terkecuali pada sang induk semang yakni Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).
Saat ini PSSI sedang di jalan menuju pengurus baru di antaranya untuk menggantikan La Nyalla Mattalitti yang terjerat kasus pencucian uang. Meski masa baktinya masih tersisa, persoalan yang menjeratnya itu menuntutnya mundur.
Sudah ada delapan nama bakal calon Ketua Umum PSSI yang baru saja lolos verifikasi Komite Pemilihan. Tiga dari antaranya adalah muka lama yakni Benhard Limbong, Djohar Arifin, dan Toni Aprilani. Sisanya merupakan wajah baru yakni Walikota Batu Eddy Rumpoko, Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Edy Rahmayadi, mantan panglima TNI Moeldoko, CEO Bosowa Group Erwin Aksa, serta mantan pemain nasional Kurniawan Dwi Yulianto.
Ada pula 19 nama yang siap menjadi calon wakil ketua umum. Dua dari antaranya adalah Hinca Panjaitan dan Erwin Dwi Budiawan yang notabene pernah dan sedang menduduki posisi sebagai orang nomor dua di PSSI. Serta Direktur PT GTS Djoko Driyono dan CEO Arema Cronus Iwan Budianto. Selain itu ada 57 nama yang berpeluang mengisi pos Komite Eksekutif PSSI.
Selanjutnya Komite Pemilihan akan mengumumkan calon tetap pada 19 September, sebelum dilanjutkan dengan proses sosialisasi yang berujung pada pemilihan pada Kongres PSSI pada 17 Oktober nanti di Makassar.
Pertanyaan penting, siapa dari antara mereka yang pantas memimpin PSSI? Pertanyaan ini tidak hanya merujuk pada kualifikasi dan kapabilitas tetapi juga kepatutan menjadi nahkoda induk sepak bola di tanah air.
Sebagian besar nama-nama di atas sudah paham sepak bola dengan beragam pengalaman baik sebagai pemain atau pengurus. Kita tak bisa menilai bahwa yang pantas menjadi pemimpin adalah mantan pesepakbola, pun sebaliknya. Mengingat PSSI bukan semata-mata soal sepak bola sebagai olahraga atau permainan, juga sebagai sebuah organisasi.
Demikianpun kita tak bisa terlalu meremehkan bahwa sosok baru yang belum menyentuh dunia sepak bola secara praktis. Edy Rahmayadi-dengan pengalaman minim ketika mengurus PS TNI, serta seniornya yang merupakan mantan Panglima TNI, Moeldoko adalah contoh muka baru. Lantas, apakah pengalaman sedikit itu sudah cukup menafikan mereka sebagai calon ketua PSSI?
Riwayat PSSI yang panjang telah mengantar kita pada preseden buruk kepemimpinan dari beragam latar belakang. Banyak sedikitnya pengalaman di dunia sepak bola, pun lama-barunya terjun di organisasi olahraga terpopuler di dunia, tak menjamin suksesnya roda PSSI. Dengan tanpa menggeneralisir barisan petinggi PSSI selama ini, kenyataan yang kita hadapi kini adalah perkembangan sepak bola Indonesia yang berjalan di tempat, atau bahkan kini telah tertinggal di belakang negara-negara lain. Petinggi yang terjerat korupsi hingga harus mendekam di hotel prodeo, serta lemahnya koordinasi dan kerja sama merupakan sedikit dari aneka “dosa” sejumlah pempin di masa lalu.
Apakah pemimpin baru nanti bakal terpengaruh untuk mewarisi kegagalan yang sama? Tentu terlalu dini mengambil sikap, apalagi menarik konklusi. Sepak bola kita sedang membutuhkan pemimpin baru, itu pasti. Tak hanya cakap memimpin, pandai berorganisasi, dan khatam aturan, tetapi juga punya ketegasan dan berintegritas, serta keberpihakan pada kepentingan sepak bola tanah air.