Dalam hitungan hari Indonesia akan kembali berpesta. Satu dari lima turnamen bulu tangkis prestisius super series premier-selain di Inggris, Malaysia, dan China, akan menggoyang tanah air. Bertajuk BCA Indonesia Open Super Series Premier (BIOSSP) akan dihelat selama sepekan sejak 12-18 Juni 2017.
Sejak naik level pada 2011 menjadi turnamen bintang enam, hanya kalah kelas dari Olimpiade, Kejuaraan Dunia dan Super Series Finals, Indonesia Open selalu mencuri perhatian. Selain animo dan antusiasme penonton yang membuncah, apresiasi dan konsep pertandingan pun berbeda dari event sejenis lainnya.
Di kelasnya, Indonesia Open selalu menyediakan hadiah tertinggi. Tahun ini total hadiah sebesar USD 1 juta atau lebih dari Rp 13,5 miliar akan diperebutkan oleh para pebulu tangkis papan atas yang berasal dari 21 negara. Besaran hadiah tersebut persis seperti yang diperebutkan 10 pebulutangkis terbaik di setiap nomor di turnamen penutup pada akhir tahun yang dihelat di Dubai, Uni Emirat Arab, World Super Series Finals.
Besarnya hadiah itu disampaikan Achmad Budiarto, Sekretaris Jenderal PP PBSI di acara “Blogger Gathering” di salah satu hotel di bilangan Jakarta Pusat, Rabu (07/06/2017) petang. Acara yang berpadu dengan “buka bersama” itu dihadiri pula Rizali Zakaria, Vice President CSR BCA. Tunggal putra Ihsan Maulana Mustofa dan pemain ganda campuran Gloria Emanuelle Widjadja hadir mewakili pemain.
Konsep berbeda ini membuat penyelenggaraan Indonesia Open selalu diacungi jempol baik oleh para kontestan dari mancanegara maupun dari induk bulu tangkis dunia, BWF. Para pemain bintang akan merasakan atmosfer berbeda yang tidak pernah mereka rasakan di tempat lain. Itulah yang membuat pemain seperti Carolina Marin asal Spanyol, Ratchanok Intanon dari Thailand hingga pemain tampan yang baru saja mudur dari timnas Korea Selatan, Lee Yong Dae selalu “kangen” Indonesia.
Tak pelak seperti kata Budi, begitu Achmad Budiharto disapa, “Sejak tiga tahun terakhir Indonesia Open selalu menjadi ‘best tournament in the world.’”
Bertabur Prahara
Meski begitu Indonesia Open kali ini akan menghadapi tantangan tidak sedikit. Istora Senayan Jakarta, yang nyaris tak tergusur sebagai venue Indonesia Open selama ini, harus ditinggal sejenak. Tahun ini tidak ada euforia di tempat yang telah meninggalkan banyak kenangan baik bagi pemain dari dalam maupun kontestan dari luar negeri itu.
Proses renovasi besar-besaran kompleks olahraga Gelora Bung Karno (GBK) demi menyambut Asian Games 2018 turut menyentuh gelanggang bulu tangkis yang pernah menjadi tempat manggung sejumlah band dan grup musik papan atas dunia seperti Muse, Slash and Miles Kennedy, serta Simple Plan itu. Berkaca pada Indonesia Open tahun lalu, pemugaran Istora tepat adanya, bila tidak ingin dikatakan telat. Kesan uzur tak bisa dielak sekalipun telah dipoles sedemikian rupa. Tetes-tetes air yang menembus dari langit-langit Istora tahun lalu menjadi isyarat paling nyata yang tidak bisa ditutup-tutupi.
Alhasil tahun ini penyelenggara berpaling ke Plenary Hall, Jakarta Convention Center (JCC). Tempat yang tak jauh dari Istora itu dipilih bukan tanpa alasan. Seperti dikatakan Budi, JCC adalah tempat yang cukup ideal untuk menjaga agar pesona Indonesia Open tidak memudar. Dibanding tempat-tempat lain, termasuk di luar ibu kota sekalipun, JCC dianggap cukup pas untuk menghelat turnamen akbar itu. Meski ongkos yang dikeluarkan tidak kecil.
Dalam waktu singkat panitia harus menyulap ruang tersebut menjadi arena pertandingan. Waktu setting baik di dalam maupun luar ruangan pun tidak panjang, hanya tiga hari saja. Akibatnya bisa memengaruhi pengenalan lapangan yang semestinya bisa dimanfaatkan para pemain tuan rumah. Apalagi ini tempat baru, tentu para pemain perlu waktu lebih untuk adaptasi lapangan.
“Mestinya tanggal 11 sudah ready untuk persiapan pemain.Sabtu siang sudah bisa dipakai untuk latihan. Kita curi start untuk latihan para pemain kita dari Pelatnas,” beber pria yang sebelumnya menjadi Wakil Sekretaris Jenderal PBSI sebelum naik pangkat pada 2016.